WAHANANEWS.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi digugat praperadilan oleh dua lembaga masyarakat, karena dianggap menghentikan penyidikan dugaan korupsi pengalihan kuota haji tahun 2023 hingga 2024 yang menyeret nama mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.
Gugatan tersebut diajukan oleh Aliansi Rakyat Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI) bersama Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), dengan Pimpinan KPK Setyo Budiyanto dan kawan-kawan sebagai pihak tergugat.
Baca Juga:
KPK Ungkap Suap Rp 2,5 M dari Pengusaha ke Eks Dirut Inhutani V
“Para Pemohon bermaksud mengajukan Permohonan Praperadilan Tidak Sahnya Penghentian Penyidikan Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengalihan Kuota Haji 2024 yang diduga dilakukan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas,” ujar Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/11/2025).
Gugatan tersebut resmi terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak Jumat (7/11/2025), dengan nomor perkara 147/Pid.Pra/2025/PN Jkt.Sel, dan sidang perdana dijadwalkan pada Senin (17/11/2025).
Kurniawan berharap hakim tunggal yang menangani perkara ini dapat mengabulkan permohonan mereka untuk menilai sah tidaknya penghentian penyidikan oleh KPK.
Baca Juga:
KPK Bongkar Isu Rotasi Jabatan Jadi Pemicu Suap di Ponorogo
“Atau apabila Hakim Tunggal memiliki pendapat lain, kami mohon agar putusan praperadilan ini dijatuhkan seadil-adilnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” lanjutnya.
Hingga berita ini diturunkan, juru bicara KPK, Budi Prasetyo, belum memberikan tanggapan resmi mengenai gugatan yang dilayangkan terhadap lembaganya tersebut.
Kasus dugaan korupsi pengalihan kuota haji ini sebenarnya telah masuk tahap penyidikan sejak Jumat (8/8/2025), setelah diterbitkannya surat perintah penyidikan (sprindik) umum oleh KPK.
Sebelumnya, penyidik KPK telah memeriksa lebih dari 350 biro travel atau Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) terkait dugaan praktik jual beli kuota haji selama periode 2023–2024.
Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan kesesuaian pembagian kuota yang diterima masing-masing biro, serta menghitung potensi kerugian negara yang disebut mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Namun, meski penyelidikan telah berjalan intensif, penetapan tersangka tak kunjung dilakukan hingga lebih dari dua bulan setelah KPK berjanji akan segera mengumumkannya.
“Kapan ini ditetapkan tersangkanya? Dalam waktu dekat, pokoknya dalam waktu dekat,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (10/9/2025).
Asep menambahkan, pengumuman tersangka akan dilakukan melalui konferensi pers resmi, namun hingga kini janji itu belum juga terealisasi.
Menurut Asep, keterlambatan disebabkan karena penyidik masih perlu memeriksa sejumlah pihak dan mendalami keterlibatan berbagai biro travel yang diduga menerima kuota tambahan haji secara melawan hukum.
“Travel-nya tersebar di seluruh Indonesia, jadi kita harus periksa satu per satu, mohon bersabar,” ujarnya saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (25/9/2025).
Kasus ini bermula dari tambahan kuota 20.000 jemaah haji yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan otoritas Saudi pada 2023.
Tambahan kuota tersebut dibagi menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus, yang pengelolaannya diserahkan kepada PIHK.
Namun, proses pembagian kuota ini diduga melanggar Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menetapkan proporsi ideal 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
Dalam praktiknya, kuota haji khusus diduga diperjualbelikan dengan nilai setoran antara USD 2.600–7.000 per kuota, atau sekitar Rp41,9 juta hingga Rp113 juta, yang dibayarkan biro travel kepada oknum pejabat Kemenag melalui jalur asosiasi.
Dana yang dikumpulkan diduga digunakan untuk membeli aset pribadi, termasuk dua rumah mewah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar yang telah disita KPK pada Senin (8/9/2025).
Rumah tersebut diduga dibeli oleh seorang pegawai Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag dengan uang hasil dari pembayaran commitment fee kuota haji.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]