Tempat tinggal Ngatimin dan keluarga memang tidak jauh dari
hiruk pikuk tentara Belanda. Yakni di sekitar lapangan udara Panasan atau
sekarang menjadi Bandara Adi Soemarmo. Saat itu tentara Belanda memang sedang
melancarkan Agresi Militer II tahun 1948.
Ayah Ngatimin memang menjadi target Belanda karena dinilai
sering membantu tentara Indonesia membangun parit jebakan tank di jalan-jalan
kampung.
Baca Juga:
2 Personel Polres Merangin Curahkan Prestasi Pada Kejuaraan Dandim Cup 0416 Bute Shokaido Open - Festival Sesumatra 2024
"Bapak saya ditembak. Kita sedang lari mau bersembunyi
setelah tentara Belanda datang. Warga memang sedang gotong royong bikin parit
untuk jebakan tank di jalan kampung," terangnya.
Ngatimin memgaku ada beberapa warga pribumi yang menjadi
mata-mata Belanda. Mereka menyamar dan ikut berbaur saat warga bergotong-royong
membuat jebakan tank, dan mendata para pejuang untuk dilaporkan ke Belanda.
"Banyak yang ikut ditembak. Ada sepuluh lebih. Saya
marah dan bertekad untuk ikut berjuang, meskipun saya masih anak-anak,"
katanya lagi.
Baca Juga:
Residivis Curanmor Berhasil Diringkus Tim Elang Sat Reskrim Polres Merangin, 3 Unit R2 Turut Disita
Sejak peristiwa itu, ia pun mulai mengikuti gerak-gerik
tentara Indonesia khususnya Angkatan Darat. Dia bahkan sudah terbiasa melihat
dentuman senjata, bom yang dilancarkan penjajah Belanda.
"Saya juga ikut tentara Indonesia menyerbu gudang
senjata di Panasan. Saya melihat dari jauh tentara-tentara Indonesia meletakkan
senjata di sebuah kebun," lanjut Mbah Min.
Ngatimin menceritakan, dalam penyerbuan itu tentara
Indonesia hanya mengandalkan senjata pisau. Saat tengah hari sekitar pukul
11.30 WIB, mereka menyerbu wilayah yang diduduki tentara Belanda.