Dari sini pria kelahiran 16 Oktober 1926 ini mulai memupuk kekayaan. Bisnisnya pun makin terdiversifikasi. Awalnya hanya kaus singlet, tapi perlahan memproduksi juga baju, selimut, dan sebagainya. Selain di industri tekstil, dia juga punya 26 perusahaan beraset miliaran rupiah.
Antara lain, hotel, perkebunan, klub sepakbola, dan banyak pabrik. Kesuksesan tersebut lantas membuat Pardede dianggap sebagai salah satu orang terkaya Indonesia pada 1980-an. Banyak orang juga menjulukinya sebagai 'raja tekstil' hingga 'raja uang'. Saking kaya raya.
Baca Juga:
Memulai Hari dengan Mentalitas Miliarder: 13 Ritual Pagi Terbaik
Raja Uang yang Pilih Hidup Miskin
Meski punya banyak uang, kekayaan tak membuat Pardede terlena. Sebab, dia menganut filosofi hidup miskin dan kesederhanaan. Dalam buku Paparan 75 Tahun Dr. T.D Pardede (1991) diketahui dia memegang ajaran "orang kaya harus belajar miskin."
Maksudnya, saat punya uang melimpah, harus ingat perjuangan saat masih tak punya uang. Berarti, orang kaya seharusnya jangan pamer harta. Kata Pardede, setiap orang kaya harus ingat bahwa rezeki berasal dari Tuhan.
Baca Juga:
Pemerintah Kaji Kebijakan Family Office untuk Tarik Investasi Domestik, Luhut yang Menyiapkan
Maka, jangan sesekali menyombongkan diri. Semua harta yang dimiliki merupakan amanah dan titipan Tuhan. Atas dasar ini, para orang kaya harus selalu ingat perjuangan saat hidup miskin yang serba susah dan sama sekali tak bisa dipamerkan.
Berkat filosofi seperti ini, Pardede cukup dihormati di Indonesia, terutama warga Sumatera Utara. Selain itu, Pardede juga punya hobi filantropi. Diketahui, dia aktif membangun rumah sakit, tempat ibadah dan sekolah bagi warga Medan.
Kiprah T.D Pardede harus berhenti pada 18 November 1991 karena wafat di Singapura. Tempo (26 Maret 1994) mewartakan sebelum wafat, 'raja uang' membuat wasiat agar seluruh harta tak dibagikan kepada anak-anaknya.