WahanaNews.co | Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi
Kebencanaan Geologi (BPPTKG),
Hanik Humaida,mengatakan, dari aktivitasnya sekarang
ini, Gunung Merapi kian menunjukkan ke arah terjadinya erupsi.
Sebab,
dari data seismik, keluaran gas,
dan deformasi masih tinggi.
Aktivitas guguran pun terus meningkat.
Baca Juga:
Viral Gunung Baru di Grobogan: Muncul dari Tanah, Semburkan Lumpur dan Gas Mematikan
"Hal ini menunjukkan mendekatnya waktu erupsi," kata Hanik
Huamidah dalam Webinar yang diselenggarakan oleh UGM-Kagama bertajuk Erupsi Merapi, Apa yang Bisa Dilakukan?,
Minggu (29/11/2020).
Meski Hanik Humaida tidak menyebutkan dengan jelas kapan erupsi
akan terjadi, namun ia memprediksi erupsi Gunung Merapi kali ini tidak sebesar pada tahun 2010 lalu.
"Kalaupun terjadi erupsi, diperkirakan tidak akan sebesar pada 2010," katanya.
Baca Juga:
Bus Rombongan Pengadilan Tinggi Jateng Tabrak Pemotor, Satu Tewas
Ia pun menghimbau masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
Gunung Merapi untuk tetap
siaga dan memperhatikan arahan dari pemerintah setempat agar tidak terjadi
korban jiwa.
"Masyarakat diminta untuk mengikuti arahan dari pemerintah
setempat dan tidak terpengaruh dari informasi yang tidak jelas sumbernya,"
katanya.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo,
mengatakan,
pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten di Jawa Tengah, seperti Magelang, Klaten, dan Boyolali, untuk mengantisipasi dampak bahaya erupsi danwedhus gembel.
Selain itu melakukan waktu evakuasi dengan tepat namun tetap
menjalankan protokol kesehatan di tempat pengungsian untuk mencegah penularan Covid-19.
"Saya kira ini PR yang tidak mudah, di masa pandemi ini lokasi
pengungsi memang harus dibuat berjarak dan memisahkan dengan kelompok yang
rentan," katanya.
Untuk menghindari adanya korban, pihaknya melakukan mitigasi
pengurangan risiko bencana yang disiapkan dari awal.
Meski menurutnya masyarakat di sekitar Gunung Merapi memiliki kearifan sendiri untuk mengenal tanda-tanda kapan
untuk melakukan evakuasi dan mengungsi.
"Kita ingin memastikan semua nantinya terlaksana dengan baik.
Kita perlu memberikan pemikiran dan memberikan gambaran untuk membantu risiko
bencana bisa dikurangi dengan baik," katanya.
Kepala Pusat Studi Bencana, Dr Agung Harijoko, mengatakan, studi soal sejarah erupsi diketahui Gunung Merapi pernah erupsi eksplosif dengan tipe sub-plinian hingga tipe plinian, dengan erupsi besar terjadi pada tahun 2010 dan
1872.
"Jangka perulangannya terjadi kurang lebih seratus
tahun,"paparnya.
Untuk mengurangi risiko terhadap dampak bahaya erupsi Gunung Merapi, maka upaya mitigasi
sangat diperlukan.
Ia menyebutkan pengalaman pada Kerajaan Mataram Kuno di abad
ke-8 dan ke 9 yang tidak mampu menyelamatkan infrastruktur, seperti bangunan candi, yang akhirnya tertutup oleh bekas erupsi.
Sedangkan penduduk ketika itu sebagian besar memilih mengungsi
ke daerah Jawa Timur.
"Dulu tidak ada mitigasi, sehingga beberapa candi tertutup oleh erupsi.
Manusianya ketika itu berpindah ke Jawa Timur untuk menyelamatkan jiwa,"
katanya.
Dari pengalaman di masa lalu itu, menurutnya, perencanaan pembangunan sekarang ini
perlu memperhatikan aspek kebencanaan dengan memahami sejarah erupsi dan
mengetahui daerah mana saja yang terancam erupsi.
Sementara Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan, mengatakan, ketangguhan dan ketahanan masyarakat di sekitar Gunung Merapi sudah sangat
baik namun tetap perlu terus didampingi dan mendapat dukungan.
"BNPB akan melakukan banyak hal. Mungkin saat ada erupsi kita
akan bantu, kita sudah membuat daftar logistik dan peralatan, termasuk
pendanaan serta membantu kesiapan Rumah Sakit dan Puskesmas. Kita
mengusahakan agar tidak korban saat erupsi," katanya. [qnt]