Hass mengunjungi kamp tersebut sebagai mitra BKSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) Bali, badan pemerintah yang mengawasi taman safari dan kebun binatang di pulau yang mengadopsi gajah Sumatra.
“Banyak industri di Bali yang ambruk akibat pandemi COVID-19,” kata Dr Agus Budi Santosa, Direktur BKSDA.
Baca Juga:
Zimbabwe dan Namibia Terpaksa Bantai Ratusan Gajah untuk Atasi Krisis Pangan
“Tapi dampaknya terhadap perusahaan kecil seperti Bali Elephant Park sangat parah. [Ketika pariwisata berhenti], mereka tidak mampu lagi menutupi biaya operasional, terutama biaya pakan gajah. Pemerintah harus membantu mereka dengan membayar makanan dan listrik.”
Nomor telepon BEC sudah tidak aktif. Namun pada bulan Juli, perusahaan tersebut mengatakan kepada Bali Animal Welfare Association bahwa mereka telah melakukan yang terbaik untuk merawat gajah tetapi berjuang untuk memenuhi biaya operasional bulanannya sebesar USD1.400.
Mereka menambahkan bahwa Departemen Kehutanan dan BKSDA belum menawarkan bantuan keuangan.
Baca Juga:
Penggerakan Tim BKSDA Aceh dalam Penghalauan Gajah Perusak Rumah dan Kebun Penduduk
“Anda tidak bisa sebagai perusahaan mengatakan tidak ada pengunjung lagi jadi saya tidak merawat gajah lagi,” kata Hass.
"Itulah yang terjadi dan sangat menjijikkan karena gajah-gajah ini telah memberi mereka keuntungan selama 15 tahun. Jadi saya tidak percaya ketika mereka mengatakan mereka tidak punya uang. Gajah tidak terlalu mahal untuk dirawat. Biayanya USD200 sebulan untuk memberi makan satu.”
Hass mengatakan BEC juga meninggalkan stafnya tanpa bayaran.