Sepintas,
memang terlihat seperti begitu. Terbukti, segenap kader Partai Demokrat beserta
AHY-nya sekaligus, sontak berucap: "Terima kasih, Pak Jokowi!"
Namun,
secara formal, keputusan pemerintah itu semata-mata demi menjaga kewibawaan
produk administrasi negara terbitan Kemenkumham, yakni Surat Keputusan
Kementerian Hukum dan HAM Nomor M.HH-09.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan
Perubahan AD-ART Partai Demokrat tertanggal 18 Mei 2020, yang sekaligus mendasari
pengakuan pemerintah terhadap AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Baca Juga:
Resmi! AHY Umumkan Dewan Pakar Demokrat, Ada Andi Malarangeng dan Rachlan Nashidik
Dengan kata
lain, jika pemerintah mengabulkan permohonan kubu Moeldoko, itu sama saja
dengan menginjak-injak produk administrasi negara yang diterbitkan Kemenkumham.
Maka,
pernyataan Yasonna Laoly, yang mempersilakan kubu Moeldoko mengajukan gugatan
ke pengadilan, bisa juga ditangkap sebagai isyarat agar pihak KLB mengupayakan
dulu pembatalan terhadap produk administrasi negara tersebut, kalau memang mau
disahkan.
Prediksi
lanjutannya, bila proses hukum terhadap legalitas AD-ART dan kepengurusan Partai
Demokrat itu berkepanjangan, katakanlah hingga menyeberang ke tahun 2022,
apalagi kalau sampai 2023, ini bakal jadi PR rumit bagi Komisi Pemilihan Umum
(KPU).
Baca Juga:
Tanggapi RUU TNI, Andi Arief Ingatkan Dulu Ada Jendral Aktif yang Tangani Bencana dan Covid
Pasalnya,
pada situasi seperti itu, bukan mustahil bakal muncul polemik baru terkait
kelayakan Partai Demokrat untuk menjadi peserta pada ajang Pemilu 2024.
Wajarlah
kalau kemudian sejumlah analis berpendapat, target utama KLB Deli Serdang itu sebenarnya
bukanlah menjadikan Moeldoko sebagai Ketua Umum, namun menjegal keikutsertaan
Partai Demokrat di Pemilu 2024.
Artinya,
target terujung dari kisruh ini adalah "Pemilu 2024 Tanpa Partai Demokrat"!