Literasi, ada UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ulas Haryono, semua regulasi yang disebutkan Tandra, tidak menjadi perdebatan lantaran saling mendukung. Semua itu harus dijadikan pedoman dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang menjadi acuan menetapkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) atau, disebut juga sebagai rencana kerja tahunan daerah.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
“terkait Pokir DPRD semuanya masuk sebagai usulan yang diajukan satu minggu sebelum musrenbang. Kemudian, diverifikasi berdasarkan RPJMD dan skala prioritas berdasar anggaran yg tersedia. Dan, setelah RKPD maka pelaksanaan sepenuhnya menjadi kewenangan OPD teknis, bukan lagi sebagai pokir tetapi sebagai kinerja dari OPD tersebut,” terang Basuki, Rabu (14/11/2023).
Selanjutnya, sebut Haryono, DPRD sebagai pengawas saja tidak menjadi faktor pelaksana pokir.
“Teman-teman Anggota DPRD tinggal mengawasi prosesnya. Proses pengadaan pun menjadi kewenangan Pemda, apakah itu dilakukan proses lelang atau PL atau swakelola untuk efisiensi dan keefektifan dengan dilakukan konsolidasi” kata Basuki.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
Basuki Haryono kembali menegaskan bahwa ia setuju apa yang dikatakan Sonny Tandra berrkait UU Nomor 23 Tahun 2014 itu, bahwa aleg diperbolehkan mengajukan aspirasi pokir sebanyak-banyaknya, tetapi kewenangan aleg hanya sebatas mengusulkan dan mengawasi saja.
“Namun, saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa pokir hak kelola oleh masing-masing aleg, karena tidak ada regulasi yang mengatur itu. Jika menemukan cukup bukti pelanggaran dalam pelaksanaan silahkan laporkan kepada APH setempat berdasarkan sumpah dan janji anggota Dewan yang diatur pada Peraturan Tata Tertib Pimpinan DPRD Sulteng No. 1/2019 pasal 89,” dalil Basuki.
[Redaktur: Hendrik Isnaini Raseukiy]