Menurutnya, yang lebih mendesak adalah pembenahan sistem pendidikan dan kesehatan, sementara urusan makanan bisa diolah sendiri oleh keluarga dari kekayaan kuliner lokal yang beragam dan bergizi.
"Tiba-tiba banyak banget sekarang kejadian belum ada satu tahun, sudah banyak keracunan, ini harusnya evaluasi besar, karena kalau program ini berjalan sampai lima tahun, mau berapa juta anak akan keracunan, dan didiamkan," ungkapnya.
Baca Juga:
Hasil Uji Labkesda: Menu MBG Jawa Barat Terbukti Terkontaminasi Bakteri Berbahaya
Dalam aksi yang sama, Kalis Mardiasih dari Suara Ibu Indonesia juga menyampaikan orasi bahwa peristiwa keracunan massal membuat kesabaran para ibu habis.
"Kami menyerukan lima tuntutan, tuntutan yang paling utama adalah untuk menghentikan MBG dan evaluasi total," jelasnya.
Kalis menolak pola perbaikan program sambil berjalan karena itu sama saja mempertaruhkan nyawa anak-anak setiap hari, padahal negara sebelumnya sudah memiliki program gizi melalui Posyandu yang lebih terstruktur.
Baca Juga:
Pidato Prabowo di PBB: “Ngeri!” Semoga Masalah Keracunan MBG Segera Ditemukan Solusinya
Ia menegaskan bahwa tindakan memukul panci dalam aksi tersebut adalah simbol penyerahan urusan gizi keluarga kepada keluarga sendiri, bukan pada program yang penuh risiko.
Pengamat sosial Domy Sokara menilai kasus keracunan massal yang terjadi belakangan ini menjadi bukti nyata bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) digulirkan terlalu cepat dalam skala nasional.
“Program ini jelas baik niatnya, tapi pelaksanaannya terlalu terburu-buru dan kurang hati-hati,” ujar Domy pada Jumat (26/9/2025).