WahanaNews.co | Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, meminta tarif KRL Yogya-Solo harus memperhatikan Ability to Pay (ATP) atau kemampuan bayar dan Willingness to Pay (WTP) atau kemauan bayar para penumpang.
Tulus menilai, tarif KRL Yogya-Solo, yang saat ini dibanderol Rp 8.000 sekali jalan, masih terjangkau bagi masyarakat.
Baca Juga:
Kritik Pedas YLKI: Kebijakan Harga Tiket Taman Nasional 100-400% Justru Bunuh Minat Wisatawan
Namun, ia meminta pengelola membeberkan berapa subsidi yang dikeluarkan pemerintah agar mendapatkan tarif tersebut.
“Saya cek tadi ke Pak Roppiq (Plt Dirut KAI Commuter), biaya operasional tarif real-nya sebenarnya adalah Rp 26.435. Jadi, kalau teman-teman naik KRL Yogya-Solo, sekali jalan itu Rp 26.435,” kata Tulus saat webinar satu tahun layanan KRL Yogya-Solo, Senin (7/3/2022).
“Sementara kita hanya membayar Rp 8.000, hanya 30 persen. Nah ini harus dipromosikan, satu sisi bahwa kehadiran negara sangat signifikan mensubsidi tarif angkutan umum,” tambahnya.
Baca Juga:
Kandungan Pestisida Anggur Shine Muscat Viral, YLKI Tegaskan Pentingnya Pengawasan Ekstra
Tulus menegaskan, besaran tarif KRL Yogya-Solo yang saat ini ditetapkan harus diperiksa lagi.
Sebab, kata Tulus, tidak menutup kemungkinan masyarakat malah mau membayar lebih atau di atas Rp 8.000 sekali jalan.
“Oleh karena itu dicek aspek ATP dikenal kemampuan bayar konsumen masyarakat KRL Yogya-Solo berapa sih. Jangan-jangan Rp 10.000, jangan-jangan Rp 15.000 dan seterusnya,” ujar Tulus.
Tulus menuturkan, besaran tarif dan subsidi dari tiket KRL Yogya-Solo harus ditentukan secara presisi dan fair baik bagi konsumen maupun operator.
Selain itu, kemauan membayar masyarakat juga harus menjadi perhatian.
“Dari sisi wilingness to pay itu juga perlu dikaji. Dengan membayar Rp 8.000 itu keinginan konsumen seperti apa pelayanannya. Apakah alon-alon asal kelakon atau cepat, selamat, nyaman, itu perlu kajian,” tutur Tulus. [gun]