Ketika jutaan orang bergerak bersamaan, etika perjalanan menjadi penentu apakah kepadatan berubah menjadi kekacauan, atau tetap bisa dikelola dengan rasa saling menghormati.
Pada akhirnya, Nataru mengajarkan satu hal mendasar: perjalanan aman bukan hasil keberuntungan, melainkan hasil kesadaran bersama. Dan kesadaran itu selalu dimulai dari hal paling sederhana, yakni kesediaan untuk tidak tergesa-gesa, dan keikhlasan untuk berbagi jalan dengan sesama.
Baca Juga:
Sambut Nataru, PLN dan Mitra Siapkan 4.514 SPKLU di 2.862 Titik serta 69.000 Personel di 3.392 Posko Nasional, ALPERKLINAS: Mobil Listrik Aman Dibawa Mudik
Kapasitas yang Terbatas
Setiap Nataru, kepadatan lalu lintas hampir selalu diperlakukan seperti bencana dadakan. Media sosial dipenuhi keluhan, jalanan dianggap “gagal”, dan kemacetan diposisikan sebagai musuh bersama. Padahal, jika ditarik ke akar persoalan, kepadatan saat libur panjang bukanlah musibah, melainkan keniscayaan sosial.
Ketika jutaan orang bergerak dalam waktu yang relatif bersamaan dengan tujuan, harapan, dan urgensi masing-masing, ruang publik pasti berada di bawah tekanan. Jalan raya, stasiun, bandara, dan pelabuhan memiliki kapasitas terbatas. Tidak ada sistem transportasi di dunia yang benar-benar dirancang untuk melayani puncak mobilitas ekstrem tanpa konsekuensi antrean dan perlambatan.
Baca Juga:
Memastikan Keamanan Pasokan BBM Selama Libur Nataru dan Libur Sekolah
Masalahnya bukan pada fakta kepadatan itu sendiri, melainkan pada cara kita menyikapinya. Banyak pengguna jalan masih membawa ekspektasi hari normal ke dalam situasi luar biasa.
Mereka berharap perjalanan tetap mulus, waktu tempuh tak berubah, dan kepentingan pribadi selalu diutamakan. Ketika realitas tidak sesuai harapan, emosi pun mengambil alih: klakson ditekan lebih sering, jalur diserobot, dan aturan dianggap penghalang, bukan pelindung.
Padahal, kepadatan sejatinya adalah sinyal bahwa ruang publik sedang digunakan secara bersamaan oleh banyak orang yang setara. Dalam kondisi seperti ini, yang dibutuhkan bukan kecerdikan untuk mencari celah, melainkan kesediaan untuk berbagi ruang dan waktu. Etika perjalanan justru menemukan maknanya di tengah antrean panjang dan laju kendaraan yang melambat.