Menerima kepadatan sebagai keniscayaan berarti menerima bahwa perjalanan Nataru menuntut kompromi. Kompromi dengan waktu, dengan kenyamanan, bahkan dengan ego.
Sebab di jalan raya yang padat, setiap keputusan individual selalu berdampak pada orang lain. Satu manuver nekat bisa memicu kemacetan panjang; satu tindakan sabar bisa menjaga alur tetap terkendali.
Baca Juga:
Sambut Nataru, PLN dan Mitra Siapkan 4.514 SPKLU di 2.862 Titik serta 69.000 Personel di 3.392 Posko Nasional, ALPERKLINAS: Mobil Listrik Aman Dibawa Mudik
Di titik inilah Nataru mengajarkan pelajaran penting: kemacetan bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan sikap. Dan sikap itulah yang akan menentukan apakah kepadatan berubah menjadi kekacauan, atau tetap bisa dilalui dengan rasa saling menghormati.
Negara Menyiapkan Sistem, Publik Menentukan Hasil
Setiap musim libur panjang, negara bekerja di balik layar. Posko didirikan, personel disiagakan, skema rekayasa lalu lintas disiapkan, dan koordinasi lintas lembaga diperkuat.
Baca Juga:
Memastikan Keamanan Pasokan BBM Selama Libur Nataru dan Libur Sekolah
Semua itu menunjukkan satu hal penting: keselamatan perjalanan tidak dibiarkan berjalan sendiri. Ada sistem yang dirancang untuk meredam risiko di tengah lonjakan mobilitas.
Namun, sistem pada dasarnya hanya menyediakan pagar pengaman. Ia tidak pernah bisa sepenuhnya menggantikan peran manusia di dalamnya. Jalan boleh direkayasa, jadwal bisa diatur, posko dapat dipasang di titik-titik rawan, tetapi hasil akhir tetap ditentukan oleh perilaku pengguna jalan.
Dalam praktiknya, banyak kebijakan keselamatan justru gagal bukan karena desain yang buruk, melainkan karena resistensi publik.