Tidak hanya itu, aturan mengenai cuti yang diberikan selama 40 hari kepada suami pun berpotensi menimbulkan masalah.
"Jadi perusahaan ini untuk melihat bahwa mengambil wanita di usia produktif itu menimbulkan cost. Karena cost kan yang menanggung perusahaan. Nah, ini membuat perusahaan berpikir 'wah jangan ambil yang itu deh, segmen yang itu (wanita usia produktif)," tuturnya.
Baca Juga:
Bukan Ditikam, Kematian Wanita Hamil di Kelapa Gading Ternyata Gara-gara Aborsi
Hariyadi menuturkan, pihaknya sudah menyurati Pemerintah dan DPR dan meminta untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut hingga menghasilkan keputusan terbaik.
Apalagi, kata Haryadi, pihaknya melihat sampling dari naskah akademik RUU tersebut dirasa masih kurang.
"Hanya ada 1 perusahaan yang dilakukan riset, itu yang perlu kita lihat lagi. Sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih luas," ujar Hariyadi.
Baca Juga:
Mertua Pembantai Menantu Hamil 7 Bulan di Pasuruan Berstatus Duda
"Harapan kami ini perlu pendalaman supaya kita tidak mengambil keputusan yang keliru yang justru kontraproduktif kaum wanita kita yang dalam usia produktif," tambahnya.
Melihat arah kebijakannya yang dirasa kurang tepat, Hariyadi menyarankan untuk dilakukannya pengkajian kembali, kembali lagi kepada tujuan utama UU tersebut dibuat.
"Balik lagi ini UU buat apa sih diberlakukan? Kita lihat kalau untuk kesejahteraan ibu dan anak, bukannya yang disasar wanita yang mendapatkan akses pekerjaan layaknya kurang? Jadi ini yang menurut saya nggak bener deh," ujar Hariyadi.