Efek yang paling nyata diprediksi akan terasa pada lonjakan harga minyak mentah dunia. Dalam skenario moderat, harga minyak diperkirakan menembus angka 100 dollar AS per barel.
Namun, laporan Oxford Economics menyebut, jika Iran menutup Selat Hormuz sebagai jalur penting perdagangan minyak, harga bisa meroket hingga 130 dollar AS per barel.
Baca Juga:
Heboh Kabar Rusia Bangun Pangkalan di Papua, Ini Fakta Mengejutkan di Baliknya
Kondisi ini tentu akan memperberat inflasi global dan mempersempit ruang manuver kebijakan moneter banyak negara.
Inflasi di Amerika Serikat diproyeksikan bisa menyentuh angka 6 persen, memaksa The Fed membatalkan rencana pemangkasan suku bunga acuan tahun ini.
Lonjakan harga energi ini juga berdampak langsung pada Indonesia. Sebagai negara yang masih bergantung pada impor energi, Indonesia berpotensi menghadapi tekanan fiskal yang berat.
Baca Juga:
Jokowi: Komunikasi Intensif Pemerintah terkait Geopolitik di Timur Tengah
“Indonesia menghadapi tantangan ganda: potensi depresiasi rupiah yang dapat memicu kenaikan harga barang impor dan beban fiskal yang meningkat akibat subsidi energi yang membengkak,” kata Syafruddin.
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebelumnya terjaga di bawah 2,53 persen dari PDB pun terancam meningkat signifikan.
Menanggapi hal ini, Syafruddin menekankan pentingnya langkah antisipatif dari pemerintah Indonesia.