Pertama, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan darurat untuk merespons gejolak harga minyak.
Penyesuaian skema subsidi energi perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak memperlebar defisit fiskal.
Baca Juga:
Heboh Kabar Rusia Bangun Pangkalan di Papua, Ini Fakta Mengejutkan di Baliknya
Kedua, koordinasi antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan harus diperkuat untuk menjaga stabilitas nilai tukar, memperkuat cadangan devisa, dan menjamin pasokan energi dalam negeri.
Syafruddin juga mengingatkan bahwa respons moneter yang cepat perlu dibarengi dengan komunikasi kebijakan yang jernih dan tegas agar pasar tetap tenang di tengah gejolak global.
Ketiga, Indonesia perlu kembali mengaktifkan jalur diplomasi global, khususnya dalam kerangka kerja sama Selatan-Selatan.
Baca Juga:
Jokowi: Komunikasi Intensif Pemerintah terkait Geopolitik di Timur Tengah
Melalui forum G7 dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia harus mendorong terbentuknya suara kolektif yang mampu mengimbangi dominasi narasi Barat.
“Saat dunia terbelah antara mereka yang memproduksi kekacauan dan mereka yang terkena dampaknya, Indonesia harus berpihak pada stabilitas dan keadilan global. Tindakan lamban hanya akan memperbesar kerentanan kita sendiri,” tuturnya.
Syafruddin mengingatkan bahwa krisis ini bukan semata urusan militer, tetapi juga menyangkut arah ekonomi dan martabat internasional bangsa.