WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di balik gemerlap kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) yang kini jadi primadona properti Jakarta, tersimpan kisah menarik tentang penguasa awal tanah Senayan.
Sebelum berdiri deretan gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, lahan ini pernah dikuasai oleh seorang imigran Belanda yang nyaris terlupakan oleh sejarah.
Baca Juga:
Tunjangan Perumahan Anggota DPR Dinilai Tak Cukup untuk Sewa Dekat Senayan
Harga tanah di Jakarta terus menanjak, dan SCBD menjadi kawasan dengan nilai tertinggi, mencapai Rp200 juta hingga Rp300 juta per meter persegi.
Kawasan elite ini secara administratif berada di Kelurahan Senayan, yang juga mencakup pusat olahraga nasional, perkantoran, dan arena politik.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa lebih dari seabad lalu, tanah Senayan pernah dikuasai oleh seorang tokoh bernama J.M.L. Bohl.
Baca Juga:
Rumah Dinas Dihapus, Anggota DPR Dapat Tunjangan Perumahan Hingga Rp 50 Juta
Sosok ini hidup pada masa Hindia Belanda dan telah memiliki lahan luas di kawasan tersebut selama lebih dari 30 tahun.
Berdasarkan arsip harian Het Nieuws van den dag Voor Nederlansch-Indie tertanggal 19 Juni 1920, Bohl adalah imigran asal Belanda yang tiba di Batavia pada tahun 1864, saat usianya masih 16 tahun.
Ia memulai kariernya sebagai karyawan di perusahaan dagang Pitcairn Syaae & Co., dan dari penghasilannya, ia mengumpulkan modal untuk beralih ke bisnis properti.
“Setelah bekerja, dia beralih membeli tanah, dan di usia muda dia sudah menjadi tuan tanah atas dua wilayah, yakni Matraman dan Sinajan, yang berada dekat Paal Merah,” demikian ditulis surat kabar tersebut.
Mengutip Handboek voor Cultuur en Handels-ondernemingen in Nederlandsch-Indië tahun 1896, disebutkan bahwa Bohl menguasai lahan di Senayan seluas 1.474 bau atau setara hampir 1.000 hektare.
Lahan ini digunakan sebagai perkebunan kelapa dan area persawahan, dengan nilai ekonomis mencapai 36.000 gulden.
Kehidupan pribadi Bohl nyaris tak terekam dalam catatan sejarah. Bataviaasch Nieuwsblad menulis bahwa pria kelahiran 1848 itu dikenal tertutup dan lebih suka hidup menyendiri.
Ia hanya dikenal sebagai tuan tanah yang memiliki wilayah luas di Senayan dan Matraman.
Sementara itu, di Matraman, berdasarkan Adresboek van Nederlandsch-Indië voor den handel tahun 1896, Bohl memiliki 502 bau tanah atau lebih dari 400 hektare.
Ia bahkan tinggal di kediaman mewah di kawasan itu, lengkap dengan taman dan puluhan rusa yang dipeliharanya.
Selain sebagai pemilik lahan, Bohl juga pernah menjajal dunia politik. Menurut laporan de Locomotief edisi 21 Agustus 1908, ia terpilih menjadi anggota dewan kota mewakili daerah Meester Cornelis.
Namun perjalanan hidupnya berakhir pada 18 Juni 1920 setelah menjalani operasi usus buntu dan mengalami komplikasi gagal ginjal. Ia meninggal dunia dalam usia 72 tahun di sebuah rumah sakit di Jalan Salemba.
Sejumlah surat kabar kolonial menuliskan bahwa wafatnya J.M.L. Bohl juga menandai berakhirnya masa kepemilikan pribadi atas lahan Senayan dan Matraman.
Setelah kematiannya, lahan tersebut diambil alih oleh pemerintah kolonial.
Kini, meski namanya nyaris tenggelam oleh modernisasi, sejarah tetap mencatat J.M.L.
Bohl sebagai sosok penting yang menguasai lahan strategis Senayan jauh sebelum kawasan itu menjelma menjadi pusat bisnis dan kekuasaan di jantung ibu kota.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]