WahanaNews.co | Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebut salah satu alasan utama pemerintah mendongkrak tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah untuk menambal defisit anggaran yang saat ini melebar.
Mengingat, pemerintah membutuhkan penerimaan yang cukup besar untuk mengembalikan defisit ke 3 persen di tahun 2023.
Baca Juga:
Dari Pajak Digital, Negara Kantongi Rp 6,14 Triliun Hingga September 2024
”Setidaknya untuk menekan defisit anggaran saat ini di atas 5 persen, pemerintah membutuhkan tambahan penerimaan mencapai Rp 600 triliun-Rp 700 triliun,” ujarnya secara virtual, Rabu (6/10/2021).
Menurut Tauhid, kenaikan tarif PPN bisa menjadi bumerang bagi pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. Dalam situasi saat ini memulihkan penerimaan negara tidak bisa hanya bergantung pada PPN, tetapi juga sektor lain, seperti industri, manufaktur, dan perdagangan.
Selutuh sektor penerimaan negara harus pulih cepat sehingga penerimaan bisa tumbuh. Namun, dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga saat ini masih relatif rendah dibandingkan pertumbuhan belanja investasi pemerintah serta ekspor dan impor.
Baca Juga:
Realisasi Penerimaan Pajak DJP Kalbar Capai 56,99 Persen Hingga Agustus 2024
“Konsumsi yang rendah ini menandakan belum adanya daya beli masyarakat sehingga kenaikan tarif PPN bukan hal yang tepat,” katanya.
Hal itu mengingat, dalam berkas Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), pemerintah juga berencana meningkatkan tarif PPN menjadi 11 persen mulai April 2022 dan 12 persen mulai 2025.
Oleh karena itu, peningkatan tarif PPN tersebut dinilainya belum diperlukan karena berpotensi menjadi beban bagi konsumen dan pelaku usaha di tengah pemulihan dari dampak Covid-19.