WahanaNews.co, Jakarta - Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/ BKPM Nurul Ichwan mengungkapkan ancaman bagi industri baterai kendaraan listrik dalam negeri.
Ia menyebut ancaman itu datang dari negara maju yang tak memiliki sumber nikel seperti Eropa. Nurul menjelaskan saat ini Eropa memiliki teknologi untuk mendaur ulang atau recycle baterai.
Baca Juga:
Presiden Prabowo dan Sekjen PBB António Guterres Bahas Sejumlah Isu Strategis dalam Pertemuan Bilateral di Brasil
Ia mengatakan pada tahun-tahun pertama baterai yang dibuat di luar Eropa, termasuk Indonesia, masuk ke negara-negara tersebut. Baterai yang masuk pun memiliki minimum recycle dengan persentase tertentu.
Begitu masuk benua biru, negara-negara maju akan mengambil waste dari baterai bekas menjadi resource atau bahan baku. Selanjutnya, bahan baku tersebut diolah menjadi baterai baru.
Dengan kata lain, saat bahan bakunya cukup Eropa akan membuat baterai sendiri. Artinya, impor dari Indonesia bakal berkurang.
Baca Juga:
RI-Selandia Baru Tegaskan Komitmen untuk Tingkatkan Kerja Sama Kedua Negara
"Ketika waktu itu sudah datang, bisa jadi impor dari apakah prekursor, katoda, battery pack dari Indonesia itu bisa jadi akan berkurang," jelas Nurul di sela-sela acara Asean Business & Investment Summit 2023 di Jakarta, Sabtu (2/9).
Menurut Nurul, hal itu bisa saja terjadi pada 2030 hingga 2040 mendatang. Untuk meminimalkan dampaknya, ia pun mengimbau agar Indonesia dan negara-negara ASEAN bekerja sama.
Kerja sama itu dilakukan dengan cara membuat ekosistem pasar, termasuk teknologi recycle bersama-sama. Dengan begitu, ASEAN tidak bergantung pada pasar negara lain, termasuk Eropa.
ASEAN, kata Nurul, menjadi bagian pasar yang punya kemandirian. Mulai dari nikel, recycle, sampai pabrik baterai kendaraan listrik.
"Nah ini mau enggak mau, karena kalau hanya bergantung dengan market orang lain, kita akan didikte oleh mereka dan kita tidak punya kemandirian untuk mencoba self-sustain dengan market sendiri," tandasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]