WAHANANEWS.CO, Jakarta - Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengkritik pemerintah yang dinilai hanya fokus menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi tata kelola minyak Pertamina dan Pertamax oplosan.
Salah satu modus dalam skandal ini adalah mencampur bahan bakar Pertamax (RON 92) dengan Pertalite (RON 90) di PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) selama periode 2018–2023.
Baca Juga:
Pemprov Kaltim Apresiasi Respons Cepat Pertamina Tanggapi Dugaan BBM Tercemar
Huda menyoroti dampak praktik ini terhadap masyarakat, yang harus membayar lebih mahal untuk Pertamax yang ternyata berkualitas lebih rendah.
"Masyarakat dirugikan karena membeli BBM yang seharusnya RON 92, tetapi ternyata hasil oplosan dari RON 90," ujar Huda dalam keterangan resminya, Jumat (28/2/2025).
Dari hasil perhitungannya, Huda memperkirakan total kerugian masyarakat akibat praktik ini mencapai Rp47 miliar per hari atau sekitar Rp17,4 triliun dalam satu tahun.
Baca Juga:
Polres Klaten Periksa Saksi Dugaan BBM Tercampur Air di SPBU Trucuk
Selain itu, efek domino dari pengoplosan ini juga mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp13,4 triliun.
"Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan lain justru tersedot untuk membayar selisih harga Pertamax oplosan," tambahnya.
Menindaklanjuti kasus ini, sejak 26 Februari 2025, LBH Jakarta dan Celios membuka posko pengaduan daring bagi warga terdampak.
Hingga saat ini, telah masuk 426 laporan dari masyarakat. Sejak 28 Februari, posko pengaduan juga dibuka secara langsung untuk memfasilitasi warga yang ingin melaporkan kasus ini secara lebih leluasa.
"Pos pengaduan ini penting untuk mendalami dampak yang ditimbulkan dan memperjuangkan hak konsumen," ujar Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan.
Kejagung Tetapkan 9 Tersangka
Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus impor minyak dan Pertamax oplosan. Selain tiga Direktur Utama Subholding Pertamina yang sudah ditangkap sebelumnya, dua petinggi PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga) serta Edward Corne (VP Trading Operation), juga ditetapkan sebagai tersangka.
Tiga tersangka lain dari Subholding Pertamina adalah Riva Siahaan (Direktur Utama Patra Niaga), Sani Dinar Saifuddin (Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT KPI), dan Yoki Firnandi (Direktur PT Pertamina International Shipping).
Selain itu, empat tersangka lainnya adalah Agus Purwono (VP Feedstock Management PT KPI), Muhammad Kerry Andrianto Riza (Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa), Dimas Werhaspati (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus PT Jenggala Maritim), dan Gading Ramadan Joede (Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak).
Menurut Kejaksaan Agung, Maya Kusmaya dan Edward Corne, dengan persetujuan Riva Siahaan, membeli BBM RON 90 atau lebih rendah dengan harga setara RON 92.
Selain itu, mereka juga diduga mencampurkan BBM RON 88 dengan RON 92 untuk menghasilkan Pertamax oplosan.
Praktik ini menyebabkan Pertamina harus membayar harga impor minyak yang lebih tinggi dari seharusnya. Bahkan, dalam proses pengadaan, mereka menggunakan sistem spot alih-alih pemilihan langsung jangka panjang, sehingga menyebabkan harga semakin mahal.
Kejaksaan juga mengungkap adanya praktik mark-up dalam kontrak pengiriman minyak yang dilakukan oleh Yoki Firnandi, menyebabkan Pertamina Patra Niaga harus membayar biaya tambahan sebesar 13–15 persen.
Uang hasil penggelembungan harga ini diduga mengalir ke beberapa tersangka lainnya.
Pertamina Bantah Isu Pertamax Oplosan
Sementara itu, Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah adanya peredaran Pertamax oplosan dengan nilai RON lebih rendah dari standar.
Ia menegaskan bahwa semua BBM yang diterima berasal dari kilang dalam negeri maupun impor, dengan standar RON 92 sebelum didistribusikan.
"Kami menerima BBM dengan RON 92 dari luar negeri maupun dalam negeri. Meskipun masih dalam bentuk base fuel tanpa aditif, RON-nya tetap sesuai standar sebelum masuk ke terminal dan SPBU," ujar Mars Ega dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (26/2/2025).
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]