WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang menaikkan tarif perdagangan sebesar 32% menimbulkan kekhawatiran bagi berbagai pihak.
Sejumlah ekonom pun mendesak pemerintah Indonesia untuk segera merespons langkah tersebut, mengingat dampaknya terhadap perdagangan internasional, terutama ekspor Indonesia ke AS.
Baca Juga:
Trump Naikkan Tarif ke 104%, China Santai: Kami Punya Jurus Balasan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik per Februari 2025, total nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 21,98 miliar.
Dari jumlah tersebut, ekspor ke AS menyumbang 11,26%, di bawah China yang mencapai 20,60%.
Dengan besarnya pangsa pasar AS, kebijakan tarif ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca Juga:
Elon Musk Sewot hingga Sebut Penasihat Trump Bodoh, Begini Duduk Perkaranya
Ekonom senior dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhil Hasan, menyoroti pentingnya strategi yang harus diambil pemerintah.
Ia mengungkapkan bahwa AS merupakan negara dengan surplus perdagangan terbesar bagi Indonesia, yang mencapai US$ 18 miliar.
“Pertanyaannya, bagaimana Indonesia akan merespons? Apakah dengan negosiasi atau justru melakukan tindakan balasan?” ujar Fadhil, mengutip CNBC Indonesia, Kamis (3/4/2025).
Menurutnya, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto lebih baik mengambil jalur diplomasi dibandingkan menerapkan kebijakan tarif balasan.
Meski demikian, ia meragukan klaim Trump yang menuduh Indonesia melakukan manipulasi nilai tukar serta hambatan perdagangan sebesar 64% terhadap AS.
“Trump mengatakan bahwa jika negara lain menurunkan tarifnya, AS juga akan melakukan hal yang sama. Namun, apakah benar ada manipulasi mata uang dan hambatan perdagangan sebesar itu?” tambahnya.
Fadhil menilai bahwa jika negara-negara terdampak tarif ini tidak membalas dengan tindakan serupa, perdagangan global akan lebih adil.
Sebaliknya, jika terjadi perang dagang, dunia akan menghadapi stagnasi ekonomi, bahkan resesi.
“Jika negosiasi dilakukan, peluang perdagangan yang lebih fair bisa tercipta. Trump sendiri menggunakan tarif ini sebagai alat tawar dalam perdagangan global,” jelasnya.
Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memperingatkan bahwa kebijakan Trump ini berpotensi memperlambat ekonomi global secara masif.
Ia memprediksi bahwa IMF, World Bank, dan OECD akan segera merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia akibat kebijakan tersebut.
Wijayanto menilai bahwa dampak kebijakan ini akan meningkatkan risiko investasi global.
Fenomena “fly to quality” akan terjadi, di mana investor mencari aset yang lebih aman seperti emas, surat utang pemerintah, dan mata uang kuat.
“Ekonomi banyak negara akan terdampak, baik melalui transmisi perdagangan maupun investasi. Pasar saham global akan semakin volatil, dan nilai tukar berbagai negara cenderung melemah,” ujarnya.
Bagi Indonesia, dampaknya bisa terlihat dari pelemahan pertumbuhan ekonomi yang membuat target 5% tahun ini semakin sulit tercapai.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga diperkirakan akan semakin berfluktuasi, terutama di sektor yang bergantung pada ekspor.
Rupiah pun akan tertekan, sementara kebutuhan pembiayaan utang senilai Rp 800 triliun hingga Rp 700 triliun tahun ini menjadi tantangan besar.
“Mengingat ekspor utama Indonesia ke AS berasal dari sektor padat karya seperti tekstil, produk karet, alat listrik, dan elektronik, tekanan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa meningkat,” tambahnya.
Berbeda dengan Fadhil yang mendorong jalur negosiasi, Wijayanto menilai langkah tersebut sulit dilakukan.
Ia mencontohkan bahwa negara-negara seperti India, Vietnam, dan Korea Selatan yang memiliki lobi kuat di Washington DC pun gagal melakukan negosiasi sebelum kebijakan tarif ini diumumkan.
“Dalam kondisi ini, negosiasi bukan pilihan yang realistis bagi Indonesia, setidaknya dalam 1-2 tahun ke depan. AS sedang dalam mode bertahan, sementara kapasitas lobi Indonesia di Washington sangat terbatas,” paparnya.
Sebagai langkah mitigasi, Wijayanto mengusulkan tujuh strategi yang perlu segera diambil pemerintah:
1. Memperkuat cadangan devisa untuk menghadapi kemungkinan perang mata uang yang berkepanjangan dengan segera menerapkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE).
2. Rekalibrasi APBN, dengan memangkas program boros anggaran dan mengalokasikan dana ke program yang berdampak langsung pada daya beli serta penciptaan lapangan kerja.
3. Pengetatan impor, baik legal maupun ilegal, untuk melindungi produsen dalam negeri dan meningkatkan pendapatan negara.
4. Penguatan sektor keuangan, khususnya perbankan dan pasar modal, agar mampu berfungsi sebagai penyangga ketidakpastian ekonomi global.
5. Kebijakan ekonomi yang jelas dan komprehensif, dengan narasi yang dapat memberikan kejelasan arah ekonomi nasional.
6. Penguatan kerja sama perdagangan dengan berbagai negara, memanfaatkan momentum untuk membangun kemitraan strategis dengan Uni Eropa, ASEAN, India, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin.
7. Mempersiapkan tim negosiasi, agar Indonesia siap berdialog dengan AS ketika situasi memungkinkan di masa depan.
“Kehandalan kepemimpinan Prabowo dan soliditas kabinetnya diuji bukan dalam situasi nyaman, melainkan dalam kondisi penuh gejolak seperti saat ini. Rakyat menantikan langkah-langkah strategis yang dapat membawa Indonesia keluar dari ancaman ini,” pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]