Kendati demikian, Peneliti Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai tidak seharusnya pemerintah pusat langsung menyalahkan pemda karena realisasi belanja yang lambat dan dana menumpuk di bank. Sebab, hal itu tak terlepas dari kesalahan pemerintah pusat yang membuat syarat pencairan anggaran rumit.
"Pada realisasi belanja pemda, eksekusi dari program belanja kerap kali baru bisa dimulai di akhir periode kuartal pertama atau bahkan di awal periode kuartal kedua karena lamanya proses pengadaan dan pemenuhan persyaratan yang diwajibkan dari pempus menjadi alasan utama," ujar Rendy, dikutip dari CNNIndonesia.
Baca Juga:
Menteri Keuangan Dorong Kolaborasi Kemenkeu-OJK untuk Memajukan Indonesia
Rendy juga melihat keterlambatan realisasi belanja di daerah dipengaruhi oleh faktor lambatnya penerbitan petunjuk teknis dan pelaksanaan dari level pempus kepada daerah, utamanya untuk pos-pos transfer ke daerah.
Terlebih, bila anggaran belanja tersebut akan digunakan untuk alokasi program baru. Di pempus saja membutuhkan waktu untuk mengeksekusi anggaran baru karena harus ada koordinasi antar kementerian/lembaga, apalagi di daerah.
"Untuk di level daerah terkadang pemda khawatir peruntukan dari dana yang disampaikan untuk pos baru tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga berpotensi menjadi temuan BPK, terutama di tahun berikutnya," terang dia.
Baca Juga:
Sri Mulyani Minta Pemangkasan 50% Anggaran Perjalanan Dinas, Ini Instruksinya
"Jadi, memang kalau belanjanya sifatnya baru itu akan memerlukan waktu koordinasi yang lebih lama dan proses yang lebih hati-hati di level pemda," lanjut Rendy.
Karenanya, ia berharap sebelum menyalahkan pemda soal tumpukan dana di bank, ada baiknya pemerintah memperbaiki atau mempermudah syarat pencairan anggaran.
Sebab, jika syarat pencairan anggaran lebih mudah, maka dana pemda yang terparkir di bank akan lebih mudah terserap dari jumlah saat ini. "Memang, ada yang harus diubah, praktek di lapangan dan pelaksanaan pencairan anggarannya," jelasnya.