WahanaNews.co | Proses
panjang persidangan gugatan UU KPK hasil revisi di Mahkamah Konstitusi (MK)
yang dimulai sejak akhir 2019 mencapai titik akhir pada Selasa (4/5) ini.
Baca Juga:
Wamendikdasmen Tegaskan Pentingnya Pembaruan UU Sisdiknas Usia 22 Tahun
MK menggelar sidang putusan untuk menentukan nasib gugatan
UU KPK mulai pukul 10.00 WIB. Berdasarkan jadwal sidang, terdapat 7 gugatan UU
KPK yang akan diputus MK.
Mereka menggugat secara formil maupun materiil. Gugatan
secara formil menyasar proses revisi UU KPK yang tak sesuai prosedur sehingga
harus dibatalkan. Sedangkan gugatan materiil mempersoalkan substansi
pasal-pasal di UU KPK hasil revisi.
Salah satu pemohon yang mengajukan uji formil yakni eks
pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Laode Syarif, dengan nomor perkara 79/PUU-XVII/2019.
Baca Juga:
Soal Diskon Tarif Listrik 50 Persen Bulan Juni 2025, Ini Kata Darmawan Prasodjo
Melalui gugatan formil, Agus Rahardjo dkk meminta MK
membatalkan UU KPK hasil revisi (UU 19/2019), sehingga otomatis kembali ke UU
yang lama (UU 30/2002).
Menurut Agus, proses pembahasan revisi UU KPK berlangsung
kilat dan terburu-buru. Terlebih, tidak terpenuhinya kuorum saat rapat
paripurna DPR untuk mengesahkan revisi UU KPK pada 17 September 2019. Sehingga
Agus cs menilai banyak cacat formil dan ketidakjelasan dalam UU KPK hasil
revisi itu.
Sedangkan 25 advokat dalam perkara nomor 59/PUU-XVII/2019
yang menggugat secara formil, menilai revisi UU KPK tidak sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sebab dalam rapat paripurna, jumlah anggota DPR yang hadir
berjumlah 80 orang atau kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara
keseluruhan. Revisi UU KPK juga dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam
rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Adapun para pemohon Perkara 77/PUU-XVII/2019, Jovi Andrea
Bachtiar dkk, menguji secara materiil mengenai Pasal yang mengatur keberadaan
Dewan Pengawas KPK.
Para pemohon menilai keberadaan Dewas berpotensi melanggar
prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi
(independent judiciary) pada proses peradilan.
Lalu permohonan perkara nomor 71/PUU-XVII/2019 yang diajukan
Zico Leonard dkk menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU
KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewas merupakan suatu paradoks yang
justru melemahkan pemberantasan korupsi.
Sementara pemohon lain di perkara 73/PUU-XVII/2019, Ricki
Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung, menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Pasal
yang mengatur persyaratan menjadi penyelidik KPK menurut keduanya sangat
diskriminatif.
Adapun jelang putusan Koalisi Guru Besar Antikorupsi
mengirim surat ke MK. Koalisi tersebut terdiri dari 51 Guru Besar dari lintas
Universitas.
Beberapa nama di antaranya yakni Prof Emil Salim (Guru Besar
FEB UI), Prof. em. Dr. Franz Magnis-Suseno (Guru Besar STF Driyarkara), Prof
Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Prof Dr Hibnu Nugroho
(Guru Besar FH UNSOED Purwokerto), dan Prof Ramlan Surbakti (Guru Besar FISIP
UNAIR).
Dalam suratnya, Koalisi Guru Besar meminta MK mengabulkan
gugatan yang diajukan dan membatalkan UU KPK hasil revisi.
"Kami menaruh harapan besar pada Mahkamah Konstitusi
untuk mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala. Harapan
itu hanya akan terealisasi jika Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi
mengabulkan permohonan uji materi UU KPK hasil revisi. Jika itu dilakukan, kami
yakin penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, akan kembali pada ke
khittahnya," isi surat Koalisi Guru Besar Antikorupsi.
Koalisi Guru Besar menilai UU KPK hasil revisi telah
melemahkan lembaga antirasuah tersebut serta membuat nasib pemberantasan
korupsi berada di ujung tanduk.
Pelemahan yang terjadi seperti mulai hilangnya independensi,
pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai alih status pegawai KPK menjadi
ASN.
"Sehingga, akibat perubahan politik hukum pemerintah
dan DPR itu, terdapat persoalan serius yang berimplikasi langsung pada
penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dua di antaranya, kegagalan KPK dalam
memperoleh barang bukti saat melakukan penggeledahan di Kalimantan Selatan dan
penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia," tulis Koalisi Guru Besar.
"KPK juga mengalami degradasi etika yang cukup serius.
Pelanggaran kode etik, pencurian barang bukti, dan praktik penerimaan gratifikasi
serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani pelan tapi pasti
telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi barometer badan
antikorupsi yang cukup ideal," lanjut isi surat Koalisi.
Lantas apakah MK akan mengabulkan atau justru menolak
gugatan UU KPK? Kita tunggu saja. [qnt]