WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gelombang serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Rusia ke Ukraina kembali menggemparkan dunia internasional.
Rentetan rudal dan drone tempur menerjang berbagai kota, menimbulkan kerusakan parah dan korban jiwa, serta memicu reaksi keras dari para pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Baca Juga:
Pelindung Pembangkit Nuklir Chernobyl Rusak Akibat Serangan Drone Rusia
Kyiv, ibu kota Ukraina, menjadi target utama dalam salah satu serangan paling mematikan sejak awal konflik.
Para pejabat Ukraina menyatakan bahwa militer Rusia melancarkan gelombang serangan rudal dan pesawat nirawak di seluruh negeri pada malam hari. Kyiv disebut sebagai wilayah yang mengalami dampak paling dahsyat.
Kementerian Pertahanan Rusia sendiri belum memberikan komentar resmi terkait serangan ini.
Baca Juga:
Permalukan AS, Zelensky Buka-bukaan soal Jumlah Pasukannya yang Tewas
Menteri Dalam Negeri Ukraina, Igor Klimenko, pada Kamis pagi (24/4/2025), mengungkapkan bahwa Moskow telah melancarkan “serangan gabungan besar-besaran” yang menyasar wilayah Kyiv, Zhytomyr, Dnepropetrovsk, Kharkov, Poltava, Khmelnytsky, dan Sumy, termasuk wilayah yang masih dikuasai Ukraina di bagian dari Wilayah Zaporozhye yang diklaim Rusia.
“Sekitar 40 kebakaran berhasil dipadamkan petugas tanggap darurat semalam, dengan Kyiv mengalami dampak paling signifikan,” ujar Klimenko.
Layanan Darurat Negara Ukraina juga membenarkan bahwa ibu kota merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak serangan. Sembilan orang tewas dan 63 lainnya terluka akibat serangan itu.
“Kebakaran terjadi di garasi, gedung administrasi, dan bangunan nonperumahan. Puing-puing yang jatuh membakar mobil dan rumput kering,” demikian pernyataan resmi layanan darurat.
Serangan juga terjadi di Kharkov. Wali Kota Igor Terekhov mengatakan bahwa ada 19 serangan yang terjadi, terdiri dari tujuh rudal jelajah dan 12 drone kamikaze.
Ia menambahkan bahwa salah satu perusahaan manufaktur yang tak disebutkan namanya menjadi sasaran serangan tersebut.
Blogger militer Rusia, Kirill Fyodorov, mengklaim bahwa pabrik Malyshev di Kharkov menjadi target utama serangan.
Pabrik tersebut merupakan bagian dari perusahaan pertahanan milik negara Ukraina, Ukroboronprom, dan dikenal memproduksi berbagai jenis peralatan berat. Fyodorov juga melaporkan adanya serangan drone di sekitar area bandara Kharkov.
Di wilayah Pavlograd, Dnepropetrovsk, sebuah perusahaan industri dilaporkan rusak akibat serangan, namun sejauh ini belum ada korban jiwa, sebagaimana disampaikan oleh Sergey Lysak, kepala pemerintahan setempat.
Operator kereta api nasional Ukraina, Ukrzaliznytsia, juga melaporkan kerusakan pada rel teknis serta gedung administrasi dan teknis di wilayah Kyiv dan Kharkov.
Meski telah menimbulkan korban sipil dan kerusakan infrastruktur, Rusia tetap menyatakan bahwa serangan-serangan yang mereka lakukan hanya menyasar target militer, bukan fasilitas sipil.
Serangan besar-besaran ini langsung mengundang reaksi dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dalam pernyataannya melalui media sosial Truth pada Sabtu (24/4/2025), Trump menyatakan kekesalannya terhadap serangan Rusia ke Kyiv yang terjadi pada Selasa (22/4/2025) waktu setempat.
Menurut data Ukraina, sedikitnya 70 rudal dan 145 drone tempur diluncurkan ke arah ibu kota.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menilai serangan tersebut sebagai upaya Rusia untuk menekan Amerika Serikat agar menghentikan dukungannya kepada Kyiv.
Menanggapi hal itu, Trump secara terbuka mendesak Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menghentikan tindakan agresif tersebut.
“Saya tidak senang dengan serangan Rusia ke Kyiv. Tidak perlu dan di waktu yang sangat tidak tepat,” tulis Trump.
Ia pun menyerukan penghentian segera eskalasi dan mengimbau kedua belah pihak untuk kembali ke meja perundingan.
“Setop, Vladimir (Putin)! 5 ribu tentara sekarat dalam sepekan. Mari capai Kesepakatan Damai segera!” seru Trump dalam postingannya.
Sementara itu, layanan darurat Rusia menyebut bahwa serangan tersebut menargetkan 13 wilayah di Kyiv, menambah ketegangan yang sudah membara di kawasan Eropa Timur dan meningkatkan urgensi penyelesaian diplomatik atas konflik yang telah berkepanjangan ini.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]