WAHANANEWS.CO, Jakarta - Meski digadang sebagai salah satu sistem pertahanan udara tercanggih buatan Amerika Serikat, sistem THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) ternyata belum sepenuhnya mampu menjawab ancaman nyata dari kawasan Timur Tengah, terutama dari Iran.
Arab Saudi yang baru saja meresmikan pengoperasian baterai THAAD pertamanya, kini menghadapi keraguan global mengenai efektivitas sistem ini dalam situasi perang yang kompleks dan dinamis.
Baca Juga:
Israel Keteteran, Rudal Iran Diprediksi Bakal 'Robek' Iron Dome di Hari ke-18
Sistem THAAD dirancang untuk mencegat rudal balistik jarak pendek hingga menengah, baik di dalam maupun luar atmosfer Bumi.
Ia bekerja dengan sistem pencegat kinetik, yang artinya menghancurkan rudal musuh dengan benturan langsung tanpa menggunakan hulu ledak eksplosif. Dalam teori, teknologi ini sangat presisi dan cepat.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan tantangan yang tak bisa diabaikan.
Baca Juga:
Serangan Menggila, Bom Israel Hantam Kantor TV Iran Saat Siaran Langsung
Salah satunya muncul dari pengalaman terbaru Israel dalam menghadapi gempuran rudal balistik dan drone dari Iran dalam perang 12 hari.
Dalam laporan Newsweek, disebutkan bahwa hampir 20 persen dari total persediaan rudal THAAD global milik AS telah digunakan untuk membantu Israel dalam menangkis serangan tersebut
Namun, banyak rudal yang tetap berhasil menembus sistem pertahanan itu, menimbulkan keraguan mendalam atas efektivitasnya.
“THAAD dirancang untuk ancaman balistik konvensional, bukan serangan simultan bertubi-tubi seperti yang dilakukan Iran,” jelas Andrew Gabel, analis senior bidang keamanan Timur Tengah di Foundation for Defense of Democracies (FDD).
Ia menambahkan, “Kemampuannya untuk mencegat tetap terbatas saat harus menangani puluhan rudal dalam waktu bersamaan, apalagi jika serangan disertai drone kamikaze dan rudal presisi tinggi.”
Senada dengan itu, Dr. Eliza Cameron dari Pusat Studi Strategis London menyoroti pentingnya sistem pendukung yang menyertai pengoperasian THAAD.
“Efektivitas THAAD dalam perang modern sangat bergantung pada integrasi dengan sistem radar multilapis dan pertahanan udara berlapis. Tanpa kombinasi itu, THAAD bisa kewalahan, bahkan lumpuh menghadapi gelombang serangan besar seperti dari Iran atau Yaman,” ujarnya.
Bagi Arab Saudi, keputusan mengaktifkan sistem ini adalah bagian dari kesepakatan senjata senilai USD 110 miliar yang diteken bersama Amerika Serikat sejak 2019.
Selain membeli sistem THAAD, kerajaan juga menjalin kontrak produksi dengan Lockheed Martin untuk memproduksi komponen-komponen lokal seperti peluncur dan tabung rudal. Namun, hingga kini, belum ada informasi resmi kapan produksi tersebut dimulai.
Langkah Saudi tersebut tentu bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman terhadap infrastruktur energi dan militer Saudi meningkat tajam.
Serangan rudal dan drone ke kilang minyak Aramco serta pangkalan militer di Najran dan Abha menandai eskalasi konflik yang melibatkan kelompok proksi Iran seperti Houthi di Yaman.
Namun, dengan catatan performa THAAD yang belum meyakinkan di lapangan, muncul kekhawatiran bahwa Arab Saudi mungkin telah menaruh harapan terlalu tinggi pada sistem pertahanan yang belum teruji maksimal di kondisi perang sesungguhnya.
“THAAD bukan jaminan mutlak terhadap semua jenis serangan. Sistem ini bukan payung yang bisa menangkis segala ancaman,” tambah Gabel.
Kondisi ini menimbulkan satu pertanyaan strategis: apakah Arab Saudi membeli solusi nyata atau sekadar simbol aliansi militer dengan Amerika Serikat?
Di tengah lanskap keamanan yang terus berubah di Timur Tengah, Riyadh dituntut tidak hanya membeli sistem canggih, tetapi juga membangun postur pertahanan menyeluruh yang bisa merespons berbagai jenis ancaman dengan cepat, tepat, dan terintegrasi.
Di saat yang sama, Iran terus memperkuat kapabilitas rudal dan UAV-nya. Jika THAAD kewalahan sejak awal, maka Saudi harus segera memikirkan rencana B, mulai dari integrasi sistem pertahanan lokal, peningkatan kemampuan radar, hingga kerja sama pertahanan kawasan yang lebih kuat.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]