Walaupun pertemuan kali ini batal, para analis menilai Amerika Serikat kemungkinan besar akan tetap membuka ruang diplomasi dengan Korea Utara.
Trump, yang sering memposisikan diri sebagai pembawa perdamaian dunia, disebut masih mengincar Nobel Perdamaian. Dalam perhentian pertamanya di Asia, ia sempat menghadiri penandatanganan perjanjian damai antara Thailand dan Kamboja di Malaysia pada awal pekan ini.
Baca Juga:
Trump Puji Prabowo di KTT ASEAN–AS: Indonesia Berperan Besar dalam Perdamaian Timur Tengah
Pada Juli 2025, kedua negara itu sempat terlibat pertempuran terburuk dalam satu dekade, yang menewaskan puluhan orang. Setelahnya, Trump mengklaim telah “mengakhiri delapan perang dalam delapan bulan.”
“Saya tidak boleh menyebutnya sebagai hobi, karena ini jauh lebih serius, tetapi ini adalah sesuatu yang saya kuasai dan sukai,” kata Trump.
Menurut Kim Jae-chun, profesor hubungan internasional dari Universitas Sogang, dorongan untuk menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea tetap besar. “Akan ada upaya menormalisasi hubungan AS dan Korea Utara, bahkan mungkin menyelesaikan isu nuklir,” ujarnya.
Baca Juga:
Trump Ancam Cabut Dukungan AS Jika Israel Nekat Caplok Tepi Barat
Cho Han-beom, peneliti senior di Korean Institute for National Unification, menilai Korea Utara adalah “kepingan puzzle terakhir” dari stabilitas kawasan. Ia menilai, meski tidak terselesaikan sepenuhnya, upaya itu bisa menjadi jalan Trump menuju Nobel Perdamaian karena memperbaiki citra keamanan global.
Korea Utara kini tampil lebih percaya diri sejak pertemuan terakhir dengan Trump enam tahun lalu. “Rezim Korea Utara telah memasuki periode stabilitas,” ujar Kang In-deok, profesor Universitas Kyungnam sekaligus mantan Menteri Unifikasi Korea Selatan pada akhir 1990-an.
Pada September 2025, Kim Jong Un tampak menghadiri parade militer di China bersama Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin China Xi Jinping—penampilan publik pertama ketiganya secara bersamaan sejak 2019.