Runtuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah menandai kekalahan besar bagi Republik Islam Iran - dan peluang besar bagi Arab Saudi untuk mengekang pengaruh Iran di dunia Arab.
Namun, menyingkirkan Assad saja tidak cukup untuk memperkuat pijakan Saudi - dan Turki - di Suriah. Yang dibutuhkan kedua negara adalah pemerintahan yang stabil di bawah kepemimpinan al-Sharaa, yang mampu memulihkan keamanan, memfasilitasi pemulihan ekonomi, dan memimpin rekonstruksi negara yang hancur akibat perang.
Baca Juga:
Turki Tantang Jet Tempur Israel, Langit Suriah Jadi Arena Duel Baru
Pencabutan sanksi AS yang telah berlaku selama lima puluh tahun terhadap Suriah, yang dilaporkan atas permintaan Mohammed bin Salman dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, membuka jalan bagi investasi besar Saudi dan Turki di Suriah.
Perusahaan-perusahaan Amerika, khususnya di sektor energi, juga diharapkan mendapat keuntungan dari pembukaan tersebut.
Pertemuan Trump dengan al-Sharaa akan sangat membantu dalam memberikan legitimasi internasional kepada seorang pria yang pernah dicemooh dengan nama samaran Abu Mohammad al-Jolani, karena hubungannya di masa lalu dengan al-Qaeda.
Baca Juga:
AS Akan Tarik 1.000 Tentara dari Suriah
Sebelumnya, Ahmed al-Sharaa secara resmi mengambil alih jabatan sebulan setelah runtuhnya rezim Assad pada bulan Desember. Pasukan yang dipimpinnya memimpin koalisi kelompok militan dalam kampanye cepat yang menggulingkan rezim brutal yang memerintah negara yang dilanda perang tersebut selama beberapa dekade.
Sebelumnya, ia adalah seorang komandan al-Qaeda, tetapi telah memutuskan hubungan dengan kelompok tersebut. Ketika ia mulai memangku jabatan tersebut, al-Sharaa menekankan bahwa pemerintahan baru Suriah menghadapi "tugas berat dan tanggung jawab besar".
Setelah Bashar al-Assad digulingkan, 90% penduduk Suriah hidup di bawah garis kemiskinan - dan beberapa kekerasan terus berlanjut dengan bentrokan antara faksi bersenjata Islam, pasukan keamanan, dan pejuang dari minoritas agama Druze.