WahanaNews.co |Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) bereaksi atas ancaman serangan rudal hipersonik bertenaga nuklir Rusia usai menerbitkan mengeluarkan surat perintah penangkapan Presiden Vladimir Putin.
ICC ingin menangkap pemimpin Kremlin karena dicurigai melakukan kejahatan perang di Ukraina.
Baca Juga:
121 Kelompok Mendesak Biden Dukung Independensi ICC dan Tolak Sanksi Terhadap Pejabatnya
Wakil kepala Dewan Keamanan dan mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev mengancam akan melakukan serangan rudal. Selain itu, badan investigasi tertinggi Rusia membuka kasus pidana terhadap jaksa ICC Karim Khan dan hakim yang mengeluarkan surat perintah penangkapan Putin.
Kepresidenan Majelis Umum Negara Pihak pada Mahkamah Pidana Internasional prihatin dengan ancaman tersebut. "Upaya untuk menghalangi upaya internasional untuk memastikan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilarang berdasarkan hukum internasional sangat disesalkan," kata presiden dalam sebuah pernyataan.
“Majelis Umum juga menegaskan kembali dukungannya yang tak tergoyahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional,” lanjut Presiden.
Baca Juga:
Jerman Bertekad Tangkap Netanyahu Jika ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
“Pengadilan Pidana Internasional mewujudkan komitmen bersama kami untuk impunitas kejahatan internasional paling serius. Sebagai upaya terakhir, pengadilan melengkapi yurisdiksi nasional. Kami menyerukan kepada semua negara untuk menghormati independensi peradilan dan penegakan hukumnya,” kata Presiden. Demikian diungkapkan pernyataan itu pada Kamis (23 Maret 2023), dikutip Al Jazeera.
Medvedev pada Senin lalu melontarkan ancaman serangan rudal hipersonik Onyx berkemampuan nuklir terhadap gedung ICC di Den Haag. "Sangat mungkin membayangkan rudal hipersonik ditembakkan dari Laut Utara dari kapal Rusia ke gedung pengadilan Den Haag," katanya.
"Semua orang berjalan di bawah Tuhan dan rudal... Perhatikan baik-baik ke langit...," paparnya.
Surat perintah penangkapan dari ICC untuk Putin, yang dikeluarkan pada hari Jumat pekan lalu, menuduh pemimpin Rusia secara tidak sah mendeportasi ribuan anak Ukraina, sebuah tuduhan yang dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Langkah hukum ICC akan mewajibkan 123 negara anggota pengadilan tersebut untuk menangkap Putin dan menyerahkannya ke Den Haag untuk diadili jika dia menginjakkan kakinya di salah satu dari 123 negara tersebut.
Baik Rusia maupun Ukraina bukanlah anggota ICC, meskipun Kiev telah memberikan yurisdiksi pengadilan untuk mengadili kejahatan yang dilakukan di wilayahnya.
Pengadilan juga tidak memiliki kepolisian sendiri dan bergantung pada negara anggota untuk melakukan penangkapan.
ICC juga mengeluarkan surat perintah terhadap Maria Lvova-Belova, Komisaris Hak Anak di Kantor Kepresidenan Rusia, atas tuduhan serupa.
Sebelumnya, Moskow menolak surat perintah penangkapan dari ICC dan menyatakan batal demi hukum. Komite Investigasi Rusia mengatakan tidak ada dasar pertanggungjawaban pidana di pihak Putin. Juga disebutkan bahwa kepala negara menikmati kekebalan mutlak di bawah konvensi PBB tahun 1973.
Komite itu mengatakan tindakan jaksa ICC dalam mengeluarkan surat perintah tersebut menunjukkan tanda-tanda kejahatan di bawah hukum Rusia, termasuk dengan sengaja menuduh orang yang tidak bersalah melakukan kejahatan.
Ukraina, yang mengatakan lebih dari 16.000 anak Ukraina telah dideportasi ke Rusia sejak invasi 24 Februari 2022, menyebut surat perintah ICC sebagai "keputusan bersejarah" yang akan mengarah pada "pertanggungjawaban bersejarah".
Sekutu Baratnya, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, juga menyambut baik langkah pengadilan tersebut.
Meskipun AS bukan pihak dalam ICC, Presiden Joe Biden mengatakan pada hari Jumat bahwa Putin jelas telah melakukan kejahatan perang, menambahkan bahwa surat perintah ICC dibenarkan.
Melansir Sindonews, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mendesak semua anggota ICC untuk mematuhi surat perintah tersebut.
"Saya pikir siapa pun yang menjadi pihak di pengadilan dan memiliki kewajiban harus memenuhi kewajiban mereka," kata Blinken pada hari Rabu ketika ditanya oleh Senator AS Lindsey Graham. [afs/eta]