WahanaNews.co | Dua raksasa minyak dan gas bumi (migas) dunia, yakni TotalEnergies asal Prancis dan Chevron Corp asal Amerika Serikat, mengungkapkan akan menarik diri dari proyek hulu migas di Myanmar.
Dua raksasa migas dunia itu, telah memutuskan meninggalkan Myanmar karena semakin memburuknya kasus pelanggaran hak asasi manusia, terutama sejak terjadinya kudeta pada tahun lalu.
Baca Juga:
Vonis Penjara Suu Kyi Ditambah 3 Tahun, Menlu AS Meradang
"Mengingat keadaan di Myanmar, kami telah meninjau minat kami dalam proyek gas alam Yadana untuk memungkinkan transisi yang terencana dan teratur yang akan mengarah pada keputusan untuk keluar dari negara itu," kata Juru Bicara Chevron Cameron Van Ast seperti dilansir dari laman AFP, Jumat (21/1/2022).
"Kami telah berdiskusi dengan operator untuk memahami posisi mereka. Sebagai non-operator dengan kepentingan minoritas dalam proyek, prioritas utama kami tetap keselamatan dan kesejahteraan karyawan, operasi yang aman dan pasokan energi yang sangat dibutuhkan untuk rakyat Myanmar dan Thailand," lanjut Ast.
Sementara itu, TotalEnergies juga akan meninggalkan proyek ladang gas Yadana di Laut Andaman.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
Padahal, ladang minyak itu menyediakan listrik bagi masyarakat Burma dan Thailand, dan juga memproduksi sekitar enam miliar meter kubik gas per tahun.
"Situasi, dalam hal hak asasi manusia dan lebih umum aturan hukum, yang terus memburuk di Myanmar telah membuat kami menilai kembali situasi dan tidak lagi memungkinkan TotalEnergies untuk memberikan kontribusi yang cukup positif di negara ini," kata TotalEnergies dalam pernyataan resminya.
Afiliasi Chevron, Unocal Myanmar Offshore Co., telah berada di Myanmar sejak awal 1990-an. Perusahaan ini memegang minoritas dalam kepentingan non-operator dalam proyek Yadana.
Human Rights Watch menyebut proyek gas alam adalah satu-satunya sumber pendapatan mata uang asing terbesar di Myanmar, dan menghasilkan lebih dari US$1 miliar setiap tahun.
Sedangkan, di samping itu, lebih dari 1.400 warga sipil tewas saat militer menindak pembangkang setelah kudeta tahun lalu menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi. [qnt]