Kedua pejabat AS itu mengatakan bahwa badan-badan intelijen sedang mengerjakan cara-cara untuk melanjutkan pengumpulan data intelijen tanpa kehadiran pasukan atau kedutaan di negara itu.
Mereka mengakui kemampuan saat ini telah berkurang secara signifikan oleh penarikan AS. Anggota parlemen, pakar kontraterorisme, dan mantan pejabat intelijen telah menyatakan keprihatinannya atas betapa andalnya apa yang disebut kemampuan luar biasa tanpa jaringan informan untuk membimbing mereka.
Baca Juga:
Donald Trump Mulai Umumkan Nominasi Anggota Kabinet, Ini Daftarnya
"Kami sedang memikirkan cara bagaimana mendapatkan akses kembali ke Afghanistan dengan segala macam sumber," ujar Berrier.
"Kami memprioritaskan upaya itu," ia menegaskan.
Sedangkan Cohen mengatakan badan tersebut akan berusaha untuk mempertahankan jaringan aset intelijen di Afghanistan, tetapi beroperasi dari jarak jauh dan tidak ada kehadiran fisik bukanlah tantangan "baru" bagi komunitas intelijen.
Baca Juga:
Prabowo Dukung Solusi Dua Negara untuk Selesaikan Konflik Palestina
"Saat kami bekerja dari cakrawala pada prinsipnya...kami juga akan mencari cara untuk bekerja dari dalam cakrawala, sejauh yang memungkinkan," ucap Cohen.
"Tetapi kami akan melakukan pendekatan ini dengan cara kami mendekati misi kontraterorisme di banyak tempat di seluruh dunia selama beberapa tahun, dan saya pikir, sebagai sebuah komunitas, kami terus menjadi lebih baik dan lebih baik dalam melakukan itu," katanya.
Sebelumnya berbicara pada pertemuan puncak pada hari Senin, Direktur Intelijen Nasional Avril Haines mengatakan Afghanistan saat ini tidak berada di urutan teratas daftar ancaman teror internasional, dengan mengatakan "ancaman terbesar" datang dari kelompok-kelompok militan yang beroperasi di Yaman, Somalia, Irak dan Suriah. [qnt]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.