WahanaNews.co, Jakarta - Aliansi Pertahanan Negara Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) disebut tengah mengalami perpecahan hingga diprediksi bakal runtuh dalam waktu dekat.
Profesor Studi Strategis Universitas St. Andrews, Skotlandia, Philips Payson O'Brien, mengatakan invasi Rusia ke Ukraina menjadi salah satu faktor terbesar yang memicu keruntuhan NATO semakin di depan mata Eropa dan Amerika Serikat yang berada di ambang perpecahan.
Baca Juga:
Klaim NATO tentang Bantuan Militer Iran ke Rusia di Ukraina Tak Berdasar dan Bermotif Politik
Padahal, O'Brien menuturkan NATO merupakan satu-satunya aliansi keamanan paling sukses dalam sejarah global modern.
Sementara itu, Amerika Serikat merupakan salah satu anggota dengan kontribusi terbesar di NATO dalam bentuk uang dan peralatan militer.
O'Brien melihat salah satu penyebab perpecahan Eropa dan AS adalah kondisi politik AS yang juga terpecah dalam melihat isu keamanan dunia.
Baca Juga:
Terpilih Jadi Sekjen NATO, Ini Profil Perdana Menteri Belanda Mark Rutte
Saat ini, kondisi politik AS terpecah dalam memandang signifikansi membantu konflik yang terjadi di negara lain, termasuk sekutu Washington.
Apalagi saat ini Kongres AS didominasi oleh Partai Republik, yang mayoritas diisi oleh sayap populis pimpinan eks Presiden Donald Trump. Selama menjabat sebagai presiden, Trump banyak menarik tentara AS dari negara-negara seperti Somalia hingga Afghanistan.
Selama dipimpin Trump, AS memang kurang peduli dengan perannya selama ini sebagai "polisi dunia" dan lebih mementingkan kepentingan nasional dan dalam negerinya. Trump bahkan menarik AS dari sejumlah organisasi internasional seperti Perjanjian Paris, WHO, hingga kesepakatan nuklir dengan Iran.
Beberapa politikus besar Partai Republik seperti Ron DeSantis dan Viviek Ramaswamy juga menolak mentah-mentah usulan bantuan tambahan AS untuk Ukraina.
"Katalis langsung keruntuhan ini (NATO) adalah perang di Ukraina," kata O'Brien dalam tulisannya di The Atlantic.
"Ketika faksi dominan (Partai Republik dalam konteks ini) dalam salah satu dari dua partai politik besar Amerika tidak melihat kepentingan membantu negara demokrasi melawan Rusia, hal ini menunjukkan bahwa pusat spektrum politik telah bergeser sedemikian rupa sehingga membuat AS terlihat kurang dapat diandalkan di Eropa," paparnya menambahkan.
Ramaswamy bahkan mewanti-wanti agar pemerintahan Presiden Joe Biden menghentikan total dan segera dukungan AS terhadap Ukraina.
DeSantis dan Ramaswamy merupakan dua politikus Partai Republik yang disebut-sebut telah mencalonkan diri sebagai calon presiden dari partai tersebut dalam pemilu 2024 mendatang.
Jika Trump atau salah satu penirunya memenangkan kursi kepresidenan pada November 2024, Eropa akan dihadapkan pada pemerintahan baru Amerika yang akan menghentikan semua dukungan untuk Ukraina," ujar O'Brien memperingatkan kemungkinan itu.
O'Brien mengatakan jika ini terjadi, negara-negara Eropa Eropa tidak akan mampu mengganti peran AS yang besar selama ini di NATO, terutama soal bantuan militernya. Ia mengatakan kehilangan bantuan militer AS akan mengakibatkan kekalahan militer bagi Ukraina.
"Jika AS tidak terlibat, Eropa akan terpecah dalam masalah ini, dengan negara-negara Timur dan Baltik yang bersemangat namun tidak mampu untuk terus mengalirkan senjata ke Kyiv. Negara-negara Barat seperti Prancis dan Jerman kemungkinan besar akan mengupayakan perdamaian dengan Rusia," kata O'Brien.
"Dampak terburuknya adalah perpecahan permanen dalam kerja sama Eropa," ujarnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]