WahanaNews.co | Sudan menutup pintu dukungan untuk Hamas sekaligus menyita aset sejumlah perusahaan yang terkait dengan kelompok perlawanan Palestina di Jalur Gaza. Kebijakan negara Afrika itu sontak berubah usai normalisasi hubungan dengan Israel.
Penyitaan aset sejumlah perusahaan juga bagian dari upaya Khartoum untuk melepaskan unsur-unsur yang terkait dengan sang pemimpin lama; Omar al-Bashir, sekaligus menolak menjadi tempat yang aman bagi Hamas.
Baca Juga:
Pelanggaran Hukum Internasional, PBB: 70 Persen Korban di Gaza Adalah Perempuan dan Anak-anak
Seorang sumber pemerintah Sudan mengatakan sebuah komite yang dibentuk untuk memulihkan dana publik setelah penggulingan al-Bashir telah mengambil alih perusahaan-perusahaan yang terkait dengan kelompok Hamas.
Menurut sumber tersebut entitas yang diambil alih antara lain perusahaan properti Hassan & Al-Abed, proyek pertanian Al-Bidaya, Hotel Paradise yang tinggi dan perusahaan transfer uang Al-Fayha.
"Mereka mendapat perlakuan istimewa dalam tender, pengampunan pajak, dan mereka diizinkan untuk beralih ke Hamas dan [pindah] ke Gaza tanpa batas," kata seorang anggota satuan tugas dari komite tersebut kepada Reuters, Jumat (24/9/2021), dengan syarat anonim.
Baca Juga:
Komandan Hamas Tewas dalam Serangan Israel di Lebanon Utara
Sumber lain mengatakan dewan kedaulatan yang berkuasa di Sudan mengonfirmasi penyitaan aset-aset perusahaan yang terkait Hamas di Sudan telah disita negara.
Reuters menggambarkan penyitaan sebagai bagian dari upaya Sudan untuk bergerak ke Barat setelah penggulingan Bashir pada 2019, yang pada dasarnya menyangkal tempat yang aman bagi para operator Hamas untuk mengumpulkan dana dan memindahkan senjata Iran ke Gaza.
Sudan menandatangani kesepakatan normalisasi dengan Israel tahun lalu sebagai bagian dari Kesepakatan Abraham. Negara lain yang melakukan hal serupa adalah Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko.