WahanaNews.co | Partai Rakyat Kamboja (CCP), partai penguasa yang diketuai Perdana Menteri Hun Sen, mengklaim menang telak dalam pemilihan umum (Pemilu) yang digelar pada Minggu (23/07/23).
"Kami menang telak," kata juru bicara CPP Sok Eysan, seperti diberitakan AFP pada Minggu (23/07/23).
Baca Juga:
2 Pelaku Sindikat Judi Online Asal Kamboja Diringkus Polda Jabar
Selain itu, Eysan mengatakan, berdasarkan perhitungannya sendiri, partainya telah memenangkan sekitar 78-80 persen suara.
CPP bersaing melawan 17 partai kecil yang dianggap tak jelas dan tak punya daya tawar.
Pernyataan Eysan ini diberikan sekitar dua jam setelah pemungutan suara ditutup. Hingga kini, belum ada hasil resmi dari perhitungan suara pemilu Kamboja tersebut.
Baca Juga:
Timnas Indonesia Menang 2-0 Lawan Kamboja
Sebelumnya, Hun Sen tiba di TPS Phnom Penh pada pukul 07.00 waktu setempat.
CCP kemungkinan akan mempertahankan semua kursi di majelis rendah.
Dengan demikian, mereka bisa memperpanjang kekuasaan dan membuka jalan bagi penerus Hun Sen.
"Kami telah menjalankan hak dan tanggung jawab sipil kami dan hak warga negara untuk memilih partai yang disukai untuk memimpin negara," kata Hun Sen usai memberikan suara, seperti dikutip AFP.
PM yang berkuasa sejak 1985 itu sempat mengatakan akan menyerahkan kekuasaan ke anaknya yang juga memiliki latar belakang militer, Hun Manet, dalam beberapa pekan mendatang.
Saat tiba di TPS, Hun Manet tak banyak memberikan komentar soal rencana kepemimpinan dia di Kamboja.
"Tak ada komentar, tak ada komentar. Saya datang untuk memberikan suara," ujar Hun Manet.
Untuk menjadi perdana menteri, Hun Manet perlu menenangkan kursi di Majelis Nasional, yang diduga bakal terwujud. Ia juga disebut akan menerima persetujuan dari raja.
Bagi sebagian orang, Hun Manet merupakan perwakilan anak muda dan wajah baru yang akan mengembangkan Kamboja.
Sekitar 9,7 juta warga Kamboja mengunjungi tempat pemungutan suara (TPS) dan memberikan hak pilihnya pada Minggu (23/7).
Pemilu di Kamboja menuai kritik dari sejumlah pihak.
Salah satunya Jaringan Asia untuk Pemilihan Bebas dan Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia.
Mereka menyebut pemungutan suara ini "sangat memprihatinkan".[sdy]