WahanaNews.co | Setelah ditunda sejak Desember 2021, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB kembali menunda pemberian kredensial keanggotaan Afghanistan, Libya dan Myanmar di PBB.
Artinya, kepala pemerintahan dari masing-masing ketiga negara tidak berhak untuk mengirimkan duta besar baru yang akan bertugas mewakili kepentingan negara di PBB sampai dengan awal September 2023.
Baca Juga:
RI-AS Kecam Kekerasan Terhadap Warga Sipil yang Berlanjut di Myanmar
Walaupun begitu, PBB masih memberikan kesempatan kepada pemerintah ketiga negara untuk dapat kembali mengajukan pengiriman duta besar untuk PBB pada pertengahan September 2023 yang bertepatan dengan berakhirnya masa Sesi Majelis Umum PBB ke-77.
Reuters melansir, berdasarkan siaran pers yang diterima dari Komite Kredensial PBB, sebanyak sembilan negara anggota Komite Kredensial PBB telah mengadakan rapat pemeriksaan berkas keanggotaan Afghanistan, Myanmar, dan Libya di PBB.
Dalam rapat yang telah diselenggarakan pada Senin (12/12/2022) waktu setempat, para duta besar dari sembilan negara anggota komite di antaranya adalah Amerika Serikat, Rusia, dan China telah menyampaikan laporan posisi (position paper) yang berisi pandangan umum mereka.
Baca Juga:
KTT Liga Arab dan OKI Sepakati Tekanan Global: Cabut Keanggotaan Israel dari PBB Segera!
Mayoritas negara anggota Komite Kredensial PBB kembali menolak untuk memberikan kredensial keanggotaan PBB kepada ketiga negara tersebut pada tahun ini.
Nantinya, Komite Kredensial PBB akan kembali memaparkan laporan komite di dalam sidang bulanan Majelis Umum PBB yang akan diselenggarakan di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, pada Jum’at (16/12/2022) waktu setempat.
Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara anggota akan mengesahkan laporan komite yang isinya berupa penolakan pemberian kredensial keanggotaan Afghanistan, Myanmar, dan Libya di PBB.
Keputusan PBB untuk menolak duta besar untuk PBB yang baru dari Afghanistan, Myanmar, dan Libya memberikan legitimasi yang kuat terhadap duta besar petahana dari ketiga negara tersebut.
Berkat legitimasi tersebut, para duta besar petahana masih memiliki kuasa untuk menolak mewakili pandangan rezim pemerintah yang berkuasa.
Hal ini dikarenakan kursi duta besar ketiga negara yang diduduki saat ini diisi oleh pejabat tinggi negara dari rezim pemerintah sebelumnya yang memiliki perbedaan pandangan politik dengan rezim pemerintah yang berkuasa saat ini.
Pada Desember 2021 lalu, Majelis Umum PBB mendukung keputusan Komite Kredensial PBB untuk menolak memberikan kredensial keanggotaan resmi PBB kepada Afghanistan, Myanmar, dan Libya.
Masih dilansir dari Reuters, Ketua Komite Kredensial PBB saat itu, Anna Karin Enestrom, mengatakan komite tidak memberikan kredensial keanggotaan kepada tiga negara tersebut karena rendahnya komitmen hukum pemerintah ketiga negara untuk menjalankan kegiatan pemerintahan yang berlandaskan pada prinsip inklusivitas, penegakan demokrasi dan HAM, dan kesetaraan gender.
Diplomat yang juga menjabat sebagai duta besar Swedia untuk PBB tersebut mengatakan keputusan pemberian kredensial keanggotaan kepada duta besar negara anggota PBB selalu didasarkan pada kesepakatan bersama atau konsensus.
Kesepakatan tersebut terjalin antara Komite Kredensial, Majelis Umum, dan rezim pemerintah negara anggota yang sedang berkuasa saat itu. PBB mewajibkan rezim pemerintah yang berkuasa untuk membuat dan menerapkan kebijakan publik yang sesuai dengan isi Piagam PBB (United Nations Charter) yang disahkan dalam Konferensi San Fransisco yang diadakan pada 24 Oktober 1945.
Dikutip dari laman United Nations, berdasarkan Piagam PBB, PBB mewajibkan setiap negara anggota Majelis Umum PBB selalu membuat dan melaksanakan roda pemerintahan dengan menerapkan produk undang-undang kebijakan publik yang berlandaskan semangat inklusivitas, pluralisme, dan toleransi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam penerapannya, PBB mewajibkan setiap negara anggota Majelis Umum PBB untuk selalu menjunjung tinggi kesetaraan gender bagi kaum perempuan di dalam lingkungan kerja, memberikan kehidupan yang layak kepada kelompok minoritas termasuk komunitas LGBTQI+, serta menegakkan prinsip demokrasi dan HAM termasuk melindungi kebebasan berpendapat di muka umum dan kebebasan pers.
Keputusan Amerika Serikat yang ingin menarik tentara dari Afghanistan secara besar-besaran membuka langkah Taliban untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah Republik Islam Afghanistan yang diakui oleh Amerika Serikat dan komunitas internasional. Sejak Mei 2021, Taliban terus melancarkan serangan militer ke sejumlah kota Afghanistan.
Pada Agustus 2021, Taliban berhasil menduduki ibu kota Afghanistan, Kabul, dan memaksa mantan Presiden Afghanistan periode 2014 – 2021, Ashraf Gani, untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemimpin Tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, pada Agustus 2021. Meski Taliban berhasil merebut kembali Afghanistan, PBB tetap mempertahankan kredensial Duta Besar Afghanistan untuk PBB saat ini, Naseer Ahmad Faiq, untuk mewakili pemerintah Afghanistan di PBB.
Namun, Pemerintah Keamiran Islam Afghanistan (Islamic Emirate of Afghanistan) di bawah kepemimpinan Taliban tidak mengakui status kredensial Faiq.
Taliban mendesak PBB agar menyetujui permohonan status kredensial yang diajukan oleh Menteri Luar Negeri Afghanistan, Amir Khan Muttaqi, tentang penunjukan Kepala Kantor Politik Taliban, Muhammad Suhail Shaheen, sebagai Duta Besar Afghanistan untuk PBB yang baru menggantikan Faiq. Namun, PBB menolak memberikan kredensial kepada Shaheen dan tetap mempertahankan status kredensial Faiq sampai dengan September 2023.
Pada Februari 2021, Tatmadaw, nama resmi Junta Militer Myanmar, melancarkan kudeta terhadap pemerintah Myanmar di bawah kepemimpinan Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi. Suu Kyi dan seluruh pejabat tinggi pemerintah yang berasal dari partai Liga Demokrasi Nasional (National League of Democracy/NLD), partai politik yang didirikan oleh Suu Kyi dan pemenang Pemilu Myanmar 2020, ditahan oleh kepolisian Myanmar.
Pengadilan Myanmar menjatuhkan vonis kurungan penjara kepada Suu Kyi dan koleganya atas kasus penyalahgunaan kekuasaan, membocorkan informasi rahasia negara, dan melanggar aturan pembatasan mobilitas Covid-19.
Untuk mewakili suara pemerintah Myanmar di PBB, Kepala Komisi Administrasi Negara dan Perdana Menteri Myanmar, Min Aung Hlaing, menunjuk Aung Thu Rein sebagai Duta Besar Myanmar untuk PBB yang baru menggantikan Kyaw Moe Tun, Duta Besar Myanmar untuk PBB yang ditunjuk oleh Suu Kyi.
Kendati pun demikian, PBB menolak memberikan kredensial kepada Aung Thu Rein dan mempertahankan kredensial Kyaw Moe Tun sebagai perwakilan tetap Myanmar di PBB yang sah.
Senada dengan Afghanistan dan Myanmar, Pada September 2022 lalu, Pemerintah Stabilitas Nasional Libya mendesak agar PBB mencabut status kredensial Duta Besar Libya untuk PBB saat ini, Taher Al-Sunni, yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Libya saat ini, Abdul Hamid al-Dbeibeh.
Perdana Menteri Pemerintah Stabilitas Nasional Libya, Fathi Basagha, menyatakan pemerintah Libya yang saat ini dipimpin oleh Dbeibeh dan pejabat Pemerintah Persatuan Nasional yang berkedudukan di ibu kota Libya, Tripoli, tidak memiliki otoritas hukum yang sah untuk memimpin Libya.
Meski begitu, PBB tetap menolak permohonan Basagha karena tidak mendapat dukungan suara anggota Pemerintah Persatuan Nasional Libya yang sah dan diakui oleh komunitas internasional. [ast]