WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pemerintah Australia menyatakan komitmennya untuk memperketat regulasi kepemilikan senjata api menyusul tragedi penembakan massal yang terjadi di Pantai Bondi, Sydney.
Insiden berdarah itu berlangsung saat perayaan Hanukkah dan menewaskan sedikitnya 15 orang, sekaligus melukai puluhan lainnya.
Baca Juga:
Senpi Macet Ditemukan saat Penangkapan Sopir Taksi Online Pelaku Pemerkosaan
Peristiwa tersebut memicu gelombang kecaman dan keprihatinan publik, terutama terkait meningkatnya kejahatan bermotif antisemit di Australia.
Banyak pihak menilai tragedi di Bondi sebagai salah satu insiden kekerasan terburuk yang pernah terjadi di negara itu dalam hampir 30 tahun terakhir.
Melansir AP News, Selasa (16/12/2025), Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam.
Baca Juga:
Misteri 8 Tahun Terkuak, 10 Senjata Api Hilang Polda NTT Akhirnya Ditemukan
Ia menyatakan kesiapan pemerintah untuk mengambil langkah tegas melalui pengetatan aturan kepemilikan senjata, termasuk pembatasan jumlah senjata yang dapat dimiliki oleh individu serta evaluasi rutin terhadap izin senjata api.
Kebijakan yang dirancang tersebut disebut sebagai pembaruan signifikan terhadap reformasi senjata nasional yang telah diterapkan sejak 1996, pasca pembantaian Port Arthur di Tasmania.
Penembakan di Bondi sendiri terjadi di kawasan pantai yang saat itu dipadati ribuan orang, termasuk ratusan peserta kegiatan “Chanukah by the Sea” yang tengah berlangsung.
Albanese menegaskan bahwa aksi penembakan tersebut merupakan bentuk terorisme antisemit yang secara langsung mengancam nilai toleransi, kebersamaan, dan rasa aman masyarakat Australia.
Dalam penanganan insiden itu, aparat kepolisian menembak mati dua tersangka yang diketahui memiliki hubungan keluarga, yakni ayah dan anak.
Hingga saat ini, sebanyak 25 korban masih menjalani perawatan intensif di sejumlah rumah sakit.
Dari jumlah tersebut, 10 orang dilaporkan berada dalam kondisi kritis, termasuk beberapa anak-anak serta dua anggota kepolisian yang mengalami luka serius saat menjalankan tugas.
Pemerintah Australia juga mengungkap bahwa badan intelijen negara tersebut sempat melakukan penyelidikan terhadap tersangka yang lebih muda pada 2019, terkait dugaan keterkaitan dengan jaringan ekstremis.
Namun, pada saat itu tidak ditemukan indikasi ancaman kekerasan berkelanjutan.
Selain membatasi jumlah senjata yang boleh dimiliki, pemerintah mengusulkan kebijakan baru yang mensyaratkan kepemilikan senjata api hanya bagi warga negara Australia.
Pemerintah juga berencana memanfaatkan data intelijen kriminal sebagai bagian dari proses seleksi dan pemberian izin kepemilikan senjata, guna memperketat pengawasan dan mencegah tragedi serupa terulang di masa depan.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]