WahanaNews.co |
Pertarungan sengit dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika
Serikat (AS) antara petahana Donald Trump dan kandidat Demokrat Joe Biden menyita
perhatian dunia. Pemilihan yang diselenggarakan pada 3 November 2020 waktu
setempat ini juga berpengaruh terhadap akivitas pelaku ekonomi dan pasar modal.
ass="MsoNormal">
Baca Juga:
Cegah Polarisasi dan Calon Tunggal, MK Hapus Syarat Presidential Threshold
Analis Pasar Modal Riska Afriani menilai meski berbagai
indeks di dunia terpantau menguat jelang Pilpres AS, mayoritas pelaku pasar
cenderung melakukan aksi tunggu (wait and see).
Dia menyebut, meski berbagai spekulasi beredar di pasar,
pasar dunia terutama pasar negara berkembang (emerging market) mengharapkan
kemenangan Biden. Pasalnya, kebijakan Biden akan berdampak positif terhadap
pasar negara berkembang.
Riska mengambil contoh kebijakan Biden yang akan menaikkan
pajak baik korporasi maupun individual. Kebijakan ini diprediksinya akan
membuat pasar modal AS menjadi kurang menarik, sehingga akan banyak dana asing
yang memilih parkir di pasar berkembang yang lebih murah.
Baca Juga:
Pilpres AS 2024: Dukungan Muslim Bawa Trump Menang atas Kamala
"Karena Biden mau menaikkan pajak, kalau seandainya
terjadi pasti potensi buat investor melihat ke emerging market lebih
kompetitif," katanya.
Selain itu, rencana Biden mempercepat penggunaan energi
terbarukan untuk memenuhi target nol emisi karbon pada 2050 juga akan
menguntungkan Indonesia.
Tak kurang, janji investasi sebesar US$2 triliun akan
digelontorkan Biden untuk mendukung program hijau tersebut. Ini artinya,
Indonesia sebagai negara penghasil bahan baku baterai kendaraan listrik, yaitu
nikel, akan menikmati investasi 'gemuk' tersebut.
Secara keseluruhan, Riska menilai pasar modal dunia
cenderung mendukung Biden. Selain fluktuasi pasar akibat 'efek cuitan' Trump
akan mampu diredam, perang dagang China-AS pun diramal akan berakhir.
Di sisi lain, AS berpotensi 'berperang' dengan Rusia.
Seperti diketahui, di berbagai kesempatan Biden menyebut Rusia sebagai ancaman
terbesar bagi AS.
"Kalau Trump akan menang lagi, indeks bisa lebih
fluktuatif karena Trump sering memberikan pernyataan di Twitter yang menjadi
sorotan dan cukup kontroversial," lanjutnya.
Sedangkan, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee
menilai pelaku pasar hanya berharap pemilu berlangsung cepat dan damai.
Menurut Hans, pemenang dari pemilu ini bukan sorotan utama
pelaku pasar, melainkan stimulus fiskal AS. Dengan selesainya pemilu, siapapun
pemenangnya akan menggelontorkan stimulus yang telah ditunggu-tunggu oleh
pasar.
Jika Biden menang dan Trump menolak mengakui kekalahannya,
Hans menilai indeks dunia berpotensi bergejolak akibat dari ketidakpastian.
Diketahui, Trump telah memberi sinyal bahwa ia akan menolak kekalahan karena
dinilai pemilihan lewat balot adalah sebuah kecurangan.
"Ini bisa menyebabkan konflik berkepanjangan dan jadi
beban ketidakpastian, ini yang menjadi sentimen kalau terjadi di pasar,"
ungkapnya.
Sementara itu, Hans menilai jika Trump kalah, kebijakan pro
pengusaha dengan menekan pajak akan berakhir. Hal itu berdampak negatif
terhadap pasar modal AS. Kemungkinan, katanya, dana asing akan keluar dari Wall
Street dan parkir di pasar berkembang.
Sedangkan untuk stimulus, ia menilai Biden akan cenderung
lebih 'loyal' dibandingkan Trump sehingga perekonomian AS akan mampu pulih
lebih cepat.
"Saya pikir indeks akan lebih wait and see karena semua
bisa terjadi, harapan bursa pemilu bisa berjalan damai dan stimulus segera
terealisasi," tutupnya. [qnt]