WAHANANEWS.CO, Jakarta - Keberadaan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Pemilu telah menjadi perdebatan panjang yang menggugah perhatian publik.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengambil langkah berani dengan menyatakan bahwa aturan ini tidak hanya merugikan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan prinsip keadilan yang mendasar.
Baca Juga:
Poin-Poin Alasan MK Hapus Presidential Threshold dan Dampaknya bagi Demokrasi
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa presidential threshold, berapapun besarannya, bertentangan dengan konstitusi.
"Pergeseran pandangan Mahkamah bukan hanya soal angka persentase threshold, tetapi menyasar esensi sistem ini yang bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ujar Wakil Ketua MK, Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan hukum dalam sidang Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Sidang yang digelar pada Kamis (2/1/2025), di Ruang Sidang Pleno MK ini memutuskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca Juga:
Sah! Mahkamah Agung Akui Kepengurusan PERADI Dr. Luhut MP Pangaribuan
Ketua MK, Suhartoyo, bersama delapan hakim konstitusi lainnya, menegaskan bahwa aturan tersebut telah membatasi hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan pilihan yang memadai dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Terbatasnya Hak Konstitusional Pemilih
Mahkamah mencermati bahwa selama ini dominasi partai politik tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berdampak pada sempitnya pilihan bagi pemilih.