Myanmar berada dalam krisis politik dan kemanusiaan usai junta militer mengambil alih secara paksa pemerintahan sah pada Februari 2021.
Ketika itu, militer menangkap sejumlah petinggi negara mulai dari Presiden Myanmar Win Myint, hingga penasihat negara Aung San Suu Kyi.
Baca Juga:
Opium Merajalela di Masa Rezim Militer Myanmar, PBB: Setara Rp 29 T
Usai aksi kudeta tersebut, warga Myanmar menggelar aksi. Namun, militer menanggapi dengan kekuatan berlebih.
Mereka menangkap dan tak segan membunuh siapa saja yang menentang pemerintahannya.
Menurut laporan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (Assistance Association for Political Prisoners/AAPP) hingga kini tercatat 2,692 orang tewas dan 16.862 orang ditangkap sejak kudeta.
Baca Juga:
Mengenal C-130J Super Hercules, Pesawat Angkut Baru yang Bakal Perkuat TNI-AU
Junta terus menjadi sorotan karena hingga kini dianggap masih melakukan kekerasan meski banyak negara sudah mendesak agar tindakan itu dihentikan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bahkan sempat menggelar konferensi tingkat tinggi untuk membahas situasi di Myanmar pada April 2021 lalu.
Pertemuan itu menghasilkan lima poin konsensus. Poin itu di antaranya kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan, harus ada dialog konstruktif mencari solusi damai, ASEAN akan memfasilitasi mediasi, ASEAN akan memberi bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan akan ada utusan khusus ASEAN ke negara itu. [rgo]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.