WahanaNews.co | Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan perang di Ukraina akan mengancam perekonomian global.
Dampaknya akan dirasakan langsung oleh negara-negara berkembang dan miskin yang menghadapi meroketnya harga makanan, bahan bakar dan pupuk.
Baca Juga:
Ngeri! Infrastruktur Ukraina yang Rusak Akibat Perang Capai 2 Kuadriliun
Bahkan, saat ini sedang melihat keranjang roti mereka "dibom.”
Seperti diketahui, Ukraina merupakan produsen gandum terbesar dunia, bahan pembuar roti dan makanan.
Sekjen PBB, Antonio Guterres, mengatakan kepada wartawan Rusia dan Ukraina mewakili lebih dari setengah pasokan minyak bunga matahari dunia dan sekitar 30 persen gandum dunia.
Baca Juga:
Penasihat Zelensky Mundur Gara-gara Urusan Rudal Rusia
Diansir AP, Selasa (15/3/2022), akibat perang, harga biji-bijian telah melampaui harga pada awal Musim Semi Arab dan kerusuhan pangan 2007-2008.
Dia mengatakan, 45 negara Afrika dan negara kurang berkembang mengimpor setidaknya sepertiga gandum mereka dari Ukraina dan Rusia, dan 18 di antaranya mengimpor setidaknya 50%.
Negara-negara ini termasuk Mesir, Kongo, Burkina Faso, Lebanon, Libya, Somalia, Sudan dan Yaman, katanya.
“Semua ini telah memukul negara paling miskin yang paling sulit menanam benih," ujarnya.
"Ketidakstabilan politik serta kerusuhan akan pecah di seluruh dunia, jika perang Ukraina tidak juga berakhir” Guterres memperingatkan.
Dampak bagi Ekonomi Indonesia
Perang antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung hingga hari ini.
Konflik kedua negara kian memanas dan menyita perhatian masyarakat global.
Secara global, perang di Ukraina adalah "bencana" bagi dunia yang akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi global.
"Perang di Ukraina terjadi pada saat yang buruk bagi dunia karena inflasi sudah naik," kata Presiden Bank Dunia, David Malpass, dikutip dari BBC, Jumat (4/3/2022).
Namun, bagaimana dampak ekonomi perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia?
1. Harga Gandum Melambung
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, salah satu dampak perang Rusia-Ukraina adalah kenaikan harga gandum.
Menurutnya, kenaikan harga gandum cepat atau lambat akan berdampak pada konsumen di Indonesia, mengingat gandum merupakan bahan baku dari produk pangan seperti mi instan dan terigu.
"Kelangkaan gandum atau kenaikan harga karena konflik di Ukraina bisa meningkatkan harga produk turunan termasuk mi instan, tapi ini semua bergantung," ujar Bhima, saat dihubungi wartawan, Sabtu (5/3/2022) siang.
"Karena mi instan ini merupakan segmen masyarakat menengah ke bawah, yang artinya dalam situasi saat ini banyak yang belum siap menerima kenaikan harga," imbuhnya.
Solusinya, kata dia, margin keuntungan dari produsen mi instan yang akan dipangkas atau ukuran dari mi instan diperkecil, atau mengeluarkan produk mi instan dengan kualitas lebih rendah.
Bhima menerangkan, dari sisi pemerintah bisa membantu memfasilitasi pengusaha mi instan untuk mendapatkan suplai bahan baku gandum selain dari Ukraina.
2. Harga Minyak Mentah Melonjak
Invasi Rusia ke Ukraina membuat harga minyak mentah melonjak hingga melewati level 100 dollar per barel.
Kondisi tersebut membuat beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) energi merasakan dampaknya secara langsung.
Bhima mengatakan, lonjakan harga minyak dunia membuat perusahaan pelat merah membebankan berbagai kenaikan harga ini kepada masyarakat.
"Termasuk LPG nonsubsidi yang telah disesuaikan dua kali harganya, sudah naik dua kali, kemudian juga untuk BBM jenis non subsidi juga dilakukan penyesuaian," ujarnya.
Menurutnya, kenaikan tersebut langsung menguras cashflow dan membuat BUMN berada di bawah tekanan utang atau debt distress.
Ada tekanan utang yang cukup dalam karena ada lonjakan harga minyak mentah secara global.
"Sementara dari sisi pemerintah dana kompensasinya mungkin kurang, sehingga kemudian dinaikan ke level konsumen, ini kan konsekuensi pertama," kata Bhima.
3. Fluktuasi Nilai Tukar
Konsekunsi kedua ada bagi BUMN karya yang memiliki beban utang atau debt to equity rasio-nya juga besar harus waspada.
Pasalnya, krisis di Ukraina juga menciptakan dua hal faktor kunci yang salah satunya adalah fluktuasi nilai tukar yang membuat beban utang luar negeri naik.
Termasuk di dalamya adalah bunga pinjaman juga akan semakin mahal.
Kedua, trend kenaikan suku bunga akan lebih cepat jadi bunga pinjaman juga akan naik.
"Jadi sudah rate bunga pinjamanya naik secara nominal karena fluktuasi nilai tukar terhadap dollar akhirnya juga membuat utang luar negerinya juga mengalami kenaikan, itu kondisi yang membuat BUMN yang debt equity rationya cukup tinggi atau beban utang terhadap modalnya cukup besar, ini akan kesulitan menghadapi krisis ukraina," kata Bhima.
Sementara itu, desakan dari masyarakat juga kuat untuk bagaimana BUMN bisa berkontribusi untuk menjaga stabilitas harga.
Kini, yang harus diperhatikan adalah risiko utang BUMN.
4. Harga Kebutuhan Pokok Meningkat
Bhima menambahkan, dampak ekonomi Indonesia dari ketegangan Rusia-Ukraina akan paling terasa di sektor keuangan.
Hal ini terlihat dari kondisi Rupiah yang sudah melemah dan bergerak di Rp 14.500, dan bisa terus bergerak mendekati level Rp 15.000.
"Dalam kondisi konflik, jika eskalasinya semakin meluas dan melibatkan banyak negara, ini bisa berdampak pada stabilitas di kawasan, dan tentunya ini akan merugikan prospek pemulihan, stabilitas moneter yang ada di Indonesia, karena bertepatan dengan tapering off dan kenaikan suku bunga yang terjadi di negara-negara maju," ucap dia.
Harga komoditas, juga menjadi efek ekonomi yang dihadapi Indonesia.
"Dengan minyak mentah yang sudah tembus USD 100 per barel, akan meningkatkan inflasi dan membuat biaya pengiriman (logistik) menjadi jauh lebih mahal. Efeknya adalah harga kebutuhan pokok semakin meningkat, daya beli masyarakat semakin rendah, dan efek terhadap subsidi energi juga akan membengkak cukup singnifikan," imbuhnya.
Dengan demikian, Bhima menyarankan, pemerintah sebaiknya segera melakukan APBN perubahan untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator khususnya nilai tukar rupiah, juga inflasi. [gun]