WahanaNews.co, Jakarta - Dengan membentuk otoritas transisi yang memerintah wilayah Gaza, Israel berencana mengakhiri perang di Jalur Gaza.
Namun hal ini ditentang oleh Perdana Menteri (PM) Otoritas Palestina Mohammad Shtayyeh.
Baca Juga:
Perkumpulan Tahanan Palestina: 61 Jurnalis Ditahan di Penjara Israel Sejak Agresi
Shtayyeh mengatakan otoritas Palestina tidak akan kembali memerintah Gaza setelah konflik Israel-Hamas tanpa perjanjian komprehensif yang mencakup Tepi Barat (West Bank) sebagai negara Palestina.
Perdana menteri sejak 2019 itu juga menekankan tidak akan bekerja sama tanpa kembali ke proses perdamaian sejati yang menghasilkan dua negara berdaulat.
"Untuk meminta Otoritas Palestina pergi ke Gaza dan menjalankan urusan Gaza tanpa solusi politik untuk Tepi Barat, seolah-olah Otoritas Palestina akan menaiki F-16 atau tank Israel?" kata Shtayyeh, seperti dikutip dari The Guardian, Senin (30/10/2023) melansir CNBC Indonesia.
Baca Juga:
Usai Puluhan Tentara Ogah Balik Perang ke Gaza, Israel Kalang Kabut
"Saya tidak menerimanya. Presiden kami [Mahmoud Abbas] tidak menerimanya. Tak satu pun dari kami akan menerimanya."
"Saya pikir yang kita butuhkan adalah visi yang komprehensif dan damai. Tepi Barat membutuhkan solusi, dan kemudian menghubungkan Gaza dengan wilayah tersebut dalam kerangka solusi dua negara," tambahnya.
Rencana Israel sendiri disebut-sebut memiliki kemungkinan melibatkan negara-negara Arab, yang mengarah pada pemulihan Otoritas Palestina (PA) yang digulingkan dari Gaza dalam kudeta Hamas pada 2007 silam.
Pemerintahan Benjamin Netanyahu sebelumnya sempat berkukuh bahwa mereka tidak berniat untuk kembali ke pemerintahan langsung di Gaza, seperti yang mereka lakukan sebelum tahun 2005.
Shtayyeh berpendapat bahwa rencana Israel untuk menjalankan wilayah tersebut menggantikan Hamas memberikan komunitas internasional pengaruh yang langka untuk kembali ke solusi dua negara yang telah dibongkar secara sistematis oleh Netanyahu selama masa jabatannya.
"Pertanyaannya bagi kita - masyarakat Israel, Amerika, Eropa, semua orang - adalah, bagaimana kita bisa memanfaatkan bencana ini sebagai peluang perdamaian?" katanya.
PA telah menyerukan pertemuan darurat Arab, yang diharapkan Shtayyeh akan diadakan pada 10 November, untuk memulihkan persatuan dalam pembentukan negara Palestina yang fungsional.
Negara-Negara Arab dan Israel
Pada 2020 Bahrain dan Uni Emirat Arab menandatangani perjanjian Abraham, yang menormalisasi hubungan dengan Israel, dan mensyaratkan kemajuan politik bagi Palestina sebagai prasyaratnya.
Pada saat serangan Hamas terjadi, AS berusaha mendorong Arab Saudi untuk menyetujui perjanjian normalisasinya sendiri, namun para pemimpinnya bersikeras bahwa perjanjian apa pun harus membawa manfaat substantif bagi Palestina.
Shtayyeh memperkirakan hal itu akan menjadi sikap umum Arab. Ia mencatat bahwa menteri luar negeri Bahrain mengunjungi Tepi Barat pada Minggu untuk pertama kalinya sejak penandatanganan perjanjian Abraham.
"Mereka berbicara dengan kami, dan kami serta mereka ingin terlibat," katanya. "Kami sedang berbicara dengan pihak Maroko, kami sedang berbicara dengan pihak Bahrain, dan tentu saja kami siap untuk berbicara dengan pihak Emirat. Kami memiliki hubungan kerja yang sangat baik dengan Saudi dan seterusnya dengan Yordania dan Mesir."
Dia mengatakan ada kesadaran yang semakin besar di antara negara-negara tetangga Arab bahwa kawasan ini tidak bisa damai tanpa solusi politik bagi Palestina.
"Sejujurnya, orang-orang Arab benar-benar muak dengan kami," kata Shtayyeh. "Mereka ingin melihat solusi atas permasalahan Palestina karena kami menyusahkan mereka."
"Kita terjebak di antara 'batu dan palu'," pungkasnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]