WahanaNews.co | Rusia merancang "senjata" baru untuk menyerang Barat. Bahkan, kini dibuat makin "canggih".
Senjata yang dimaksud bukan arti sebenarnya. Melainkan skema pembayaran dengan mata uang rubel ala Presiden Vladimir Putin yang tak akan berhenti hanya pada minyak dan gas Rusia.
Guna membalas sanksi Eropa dan AS, Putin akan menerapkan aturan sama ke ekspor utama lain dari negara itu. Sebelumnya, aturan penggunaan Rubel telah berlaku sejak 1 April dan sempat menekan dolar AS.
Baca Juga:
Bantu Rusia, Terungkap Kim Jong Un Kirim Tentara ke Ukraina
"Ini adalah prototipe sistem," kata Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan kepada televisi pemerintah Channel One Rusia, dikutip Reuters Rabu (6/4/2022).
"Saya tidak ragu bahwa itu akan diperluas ke kelompok barang baru," tegasnya lagi tanpa memberi detail.
Dalam kesempatan yang sama, Psekov juga kembali mengecam sanksi AS dan sekutu, termasuk pembekuan US$ 300 miliar dari cadangan bank sentral Rusia. Ia menyebutnya "perampokan".
Baca Juga:
3 Negara Ini Melarang Warganya Tersenyum kepada Orang Lain, Kok Bisa?
Kremlin, katanya, menginginkan sistem baru untuk menggantikan kontur arsitektur keuangan Bretton Woods yang didirikan oleh kekuatan Barat pada tahun 1944. Bretton Woods merupakan perjanjian yang mematok nilai mata ung negara lain terhadap dolar AS.
"Jelas, bahkan jika saat ini prospeknya masih jauh, kita akan sampai pada sistem baru. Berbeda dari sistem Bretton Woods," kata Peskov.
"Sanksi Barat terhadap Rusia telah mempercepat erosi kepercayaan terhadap dolar dan euro."
Rusia memang merupakan pengekspor sejumlah komoditas penting dunia. Tak hanya minyak dan gas tapi juga batu bara hingga sejumlah mineral, seperti platinum, aluminium, hingga pangan seperti gandum.
Dalam data World's Top Export, minyak mentah, minyak bumi olahan, batu bara, emas dan besi-baja menyumbang 45,6% dari total ekspor tahun lalu.
Eropa sendiri belum bereaksi soal ini. Namun sebelumnya, kebijakan rubel ke gas Eropa telah membuat Prancis, Jerman dan Inggris bereaksi.
Menteri Ekonomi Prancis Bruno Le Maire dan Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck mengatakan Rusia menyalahi kontrak. Inggris pun mengatakan "ini bukan sesuatu yang Inggris akan cari". [qnt]