Masa pemerintahan Rouhani akan berakhir pekan ini. Raisi
rencananya bakal dilantik sebagai presiden oleh parlemen Iran pada Kamis mendatang.
Selama menjabat Rouhani jarang berbicara langsung di hadapan
rakyatnya. Selain itu, Rouhani juga menuduh faksi konservatif di parlemen Iran
merusak rencananya menghidupkan kembali perjanjian pembatasan pengayaan uranium
dan pencabutan sanksi (JCPOA) yang disepakati pada 2015 silam.
Baca Juga:
Balas Israel, Iran Disebut Bakal Tingkatkan Kekuatan Hulu Ledak
"Tidak ada gunanya membicarakan itu. Menurut kerangka
kerja yang ditetapkan pemimpin tertinggi, kita bisa menerapkan JCPOA dan
mencabut sanksi, tetapi kami malah mentok," kata Rouhani.
Pemerintahan Rouhani juga dikritik dalam hal penanganan
pandemi Covid-19 di Iran. Dia juga dinilai turut andil dalam krisis ekonomi
akibat pembatalan JCPOA oleh Amerika Serikat di masa kepemimpinan Presiden
Donald Trump pada 2018.
Bahkan Trump kembali menjatuhkan sanksi berupa embargo
ekonomi bagi Iran. Alhasil Iran kesulitan menjual minyak bumi sebagai salah
satu komoditas utama negara ke negara lain.
Baca Juga:
Elon Musk Beberkan Alasan Tangguhkan Akun X Pemimpin Tertinggi Iran
Bahkan akibat embargo itu, Iran sempat kerepotan membeli
obat-obatan dan perlengkapan medis dalam menghadapi pandemi Covid-19 akibat
tidak ada bank di dunia yang mau menjadi perantara pembayaran lantaran juga
takut terkena sanksi AS.
"Jika ada yang ingin mengadili pemerintahan ini, mereka
harus mempertimbangkan tentang perang ekonomi, Covid-19, dan kekeringan,"
kata Rouhani sebagai pernyataan pembelaan diri.
Rouhani pertama kali terpilih menjadi presiden Iran pada
2013. Saat itu lawan terberatnya adalah Wali Kota Teheran, Mohammad Bagher
Ghalibaf.