Diperkirakan, ia mengakhiri pemerintahannya dengan kekayaan bersih pribadi sebesar $38 miliar. Menyusul kemerosotan ekonomi pada tahun 1997 yang membuat Indonesia merasakan krisis moneter (krismon) yang sulit untuk pulih, para politisi terkemuka mulai menyalahkan Suharto dan protes pun dimulai dengan besar-besaran, yang bahkan membuat para mahasiswa turun ke jalanan untum berdemonstrasi.
Setelah meningkatnya tekanan dan desersi dari sekutu politiknya pada bulan Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh B.J Habibie. Dia telah diselidiki karena korupsi berkali-kali sejak pengunduran dirinya dan dituduh menggelapkan $571 juta dana pemerintah melalui berbagai yayasan amal pribadi.
Baca Juga:
Setelah Dilantik, Wabup Toba Audi Murphy Sitorus Bakal Ikuti Retret di Magelang
Tuntutan hukum lain di Indonesia berupaya memerintahkan Soeharto membayar kembali dana beasiswa sebesar $1,5 miliar yang diduga hilang selama masa jabatannya. Soeharto tidak pernah diadili, sebagian karena ia dianggap terlalu sakit dan telah berumur untuk diadili, namun juga karena ia masih dihormati oleh masyarakat Indonesia.
Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008 dan masih menjadi tokoh yang disegani hingga kini. Ia juga dikenal sebagai Bapak Pembangunan atas jasanya membangun banyak infrastruktur modern di Indonesia.
Ferdinand Marcos - Presiden Filipina (1972–1986)
Baca Juga:
Bupati Dan Wabup Deli Serdang Resmi Dilantik Presiden RI Prabowo Subianto
Dana yang diduga digelapkan: $7,5 miliar atau Rp 130 triliun Ferdinand Marcos memasuki dunia politik pada akhir tahun 1940-an setelah Perang Dunia ke-2. Ia mencalonkan diri pada pemilu Filipina di tahun 1965 dan menang, sebagian karena klaimnya atas keberanian dan prestasinya selama perang.
Selama masa jabatan keduanya pada tahun 1969-1972, Marcos menghadapi krisis utang akibat kebijakan belanja publik yang tinggi untuk proyek-proyek infrastruktur. Hal ini menimbulkan kepentingan sipil dan meningkatnya oposisi politik yang menyebabkan Marcos mengumumkan darurat militer, yang menempatkannya sebagai satu-satunya pemimpin negara.
Periode ini berlangsung hingga tahun 1986 ketika masa jabatannya sebagai pemimpin berakhir. Pada tahun 1986, Marcos terpaksa mengadakan pemilihan umum cepat karena meningkatnya ketidakpopuleran dan ancaman kudeta, yang berakhir dengan keragu-raguan yang rumit karena berbagai penghitungan suara menyatakan pemenang yang berbeda.