WahanaNews.co | Undang-undang yang dikeluarkanAmerika Serikat
terkait kewajiban audit untuk perusahaan asing akan mengancam keberadaan
perusahaan China di Wall Street.
Aturan yang dikeluarkan
saat kepemimpinan Presiden Donald Trump ini mengharuskan perusahaan yang terdaftar
di Wall Street untuk berbagi audit dengan regulator AS.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Jika perusahaan tidak
mau mematuhi aturan ini, maka perusahaan terancam delisting.
UU ini pun mengharuskan
perusahaan membuka keterlibatan mereka dengan pemerintah asing.
Rangkaian aturan ini dinilai
akan berdampak pada investasi luar negeri terhadap teknologi China.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Dikutip dari CNN Business, kondisi ini pun diperburuk
dengan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah China.
Cyberspace Administration of China (CAC) atau Pengawas Internet
China mulai memberikan arahan untuk membatasi perusahaan listing di luar negeri.
Bahkan, baru-baru ini
lembaga tersebut mengusulkan setiap perusahaan dengan data lebih dari satu juta
pengguna harus meminta persetujuan mereka sebelum mencatatkan sahamnya di luar
negeri.
Analis Eurasia Grup menuliskan dalam sebuah
laporan, pemerintah China awalnya mentoleransi listing di luar negeri agar memberikan
perusahaan keleluasaan mencari modal.
"Namun, saat ini
perhitungan jelas telah berubah demi memprioritaskan masalah keamanan
nasional," tulis laporan tersebut,
dikutip dari CNN Business, Jumat
(23/7/2021).
CEO MegaTrust Investment (Hong Kong), Qi Wang,
mengungkap, terlepas dari masalah politik China dan AS, kini
kedua negara tersebut menuntut transparansi ekstra ketat.
"Perusahaan
menghadapi dua standar yang berbeda atau bahkan bertentangan. Tantangan hukum
dan kepatuhan (dari IPO China) akan mulai meningkat," katanya.
Di sisi lain, pengetatan
aturan listing, baik di AS dan China ini, menjadi sinyal berakhirnya pasar saham AS untuk
perusahaan China.
Profesor dan Direktur China Initiatives Thunderbird School of
Global Management, Arizona State University, Doug Guthrie, mengungkap,
"istirahat panjang" kemungkinan berlangsung hingga hubungan AS dan
China membaik.
"Pemerintah China
mengirimkan sinyal yang sangat jelas kepada perusahaan teknologi China dan ke
seluruh dunia, bahwa organisasi China harus bekerja sama dengan pemerintah
China," kata Guthrie.
Tak hanya itu, China pun
mengirimkan sinyal bagi perusahaan yang tumbuh terlalu besar dan menglobal akan
dikendalikan oleh pemerintah.
"Perusahaan yang tumbuh
terlalu besar dan global terlalu cepat akan dikendalikan untuk memastikan bahwa
mereka bekerja sama dengan prioritas pemerintah China," tambah Guthrie.
Aksi yang dilakukan
kedua negara membawa kerugian bagi keduanya tanpa terkecuali.
Aksi yang dilakukan oleh
pemerintah AS telah menghapus sekitar US$ 1
triliun dari nilai saham teknologi China yang terdaftar di luar negeri sejak
Februari.
Goldman Sachs bahkan
menilai ini menjadi aksi jual terburuk dalam sejarah.
Pasar saham AS telah
menjadi salah satu wadah pencarian modal asing bagi perusahaan China.
Terlepas dari ketegangan
antara kedua negara, perusahaan China masih mengumpulkan sekitar US$ 13,6 miliar dari daftar AS tahun lalu.
Data Dealogic mengungkap jumlah IPO tersebut
terbesar kedua setelah 2014, saat Alibaba (BABA) go public dalam IPO New York senilai US$ 25 miliar.
Sedangkan tahun ini ada
37 perusahaan China telah terdaftar di Amerika Serikat.
Gabungan nilai IPO
semuanya mencapai US$
12,6 miliar, jumlah tertinggi
untuk periode yang sama sejak tercatat mulai 1995.
Sementara itu, data Goldman Sachs mengungkap, investor AS sekarang memegang sekitar US$ 1 triliun di saham perusahaan China.
Jumlah tersebut termasuk
investasi sekitar US$
590 miliar di Hong Kong, US$ 330 miliar di Amerika Serikat, dan US$ 135 miliar di China daratan.
Belum lama ini, akibat
pengetatan China terhadap perusahaan teknologi membuat harga saham perusahaan ride hailing Didi Chuxing di Wall Street
anjlok.
Aksi ini membuat
sebagianperusahaan China yang bersiap IPO di Wall Street mundur.
Induk TikTok, Bytedance, platform e-commerce sosial Xiaohongshu, aplikasi
kebugaran Keep dan perusahaan data
medis LinkDoc Technology semuanya
telah menangguhkan atau membatalkan rencana untuk mendaftar di New York.
Sementara, aplikasi
pengiriman Lalamove sedang mempertimbangkan untuk mengalihkan rencana untuk IPO
AS senilai US$
1 miliar ke Hong Kong karena
regulator China menekan listing di luar negeri. [qnt]