WAHANANEWS.CO, Jakarta - Presiden Palestina Mahmoud Abbas akhirnya tampil di media Israel untuk pertama kalinya setelah kesepakatan gencatan senjata mulai dijalankan, sebuah momen yang langsung menyita perhatian dunia internasional karena membuka peluang baru bagi proses perdamaian yang selama ini mandek.
Pada Kamis (9/10/2025), Abbas diwawancarai oleh Channel 12 dan menyampaikan harapan besar bahwa rakyat Palestina dan Israel bisa memasuki babak baru tanpa konflik setelah tercapainya kesepakatan penghentian serangan di Gaza.
Baca Juga:
Harapan Perdamaian Gaza, Hamas Minta Ini ke Israel
"Apa yang terjadi hari ini merupakan momen bersejarah, kami selalu berharap dan akan terus berharap agar pertumpahan darah di tanah kami dapat berakhir, baik di Jalur Gaza, Tepi Barat, maupun Yerusalem Timur," ujar Abbas dalam wawancara tersebut.
Dia menegaskan rasa lega karena kekerasan telah dihentikan dan berharap kondisi ini bisa bertahan untuk membuka ruang dialog yang lebih sehat bagi kedua pihak.
"Kami berharap situasi ini bertahan dan perdamaian, keamanan, serta stabilitas dapat terwujud antara kami dan Israel," lanjut Abbas, seperti diberitakan AFP.
Baca Juga:
Relawan Global Sumud Flotilla Dipaksa Minum Air Toilet dan Tak Makan 3 Hari
Dalam wawancara tersebut, pertanyaan disampaikan dalam bahasa Ibrani, sementara Abbas merespons dalam bahasa Arab, memperlihatkan komunikasi yang tetap dijaga formal meski hubungan politik kedua pihak kerap memanas.
Ketika ditanya apakah Otoritas Palestina telah menjalankan reformasi sesuai permintaan Presiden AS Donald Trump dalam rencana 20 poin untuk mengakhiri perang di Gaza, Abbas menegaskan bahwa proses itu telah dimulai secara bertahap.
"Saya ingin menyampaikan dengan jujur, kami telah memulai reformasi," kata Abbas.
Menurut dia, perubahan itu mencakup sistem pembayaran kepada para tahanan dan keluarga mereka, sebuah kebijakan yang sebelumnya mendapat sorotan tajam dari Amerika Serikat dan Israel.
"Reformasi ini termasuk gaji untuk para tahanan, yang telah kami sepakati dengan AS dan mendapat persetujuan dari mereka," ujarnya.
Abbas sempat mengumumkan mekanisme baru pembayaran itu pada Februari lalu setelah mendapat tekanan dari Washington dan Tel Aviv yang menilai dana tersebut bisa digunakan untuk mendukung aksi kekerasan.
Sejumlah pejabat Palestina saat itu mengkritik langkah tersebut, menilai reformasi itu sebagai bentuk tekanan politik yang dipaksakan dari luar.
Dalam bagian lain wawancara, Abbas menegaskan bahwa reformasi tidak hanya dilakukan pada satu sektor, tetapi mencakup pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keamanan demi menunjukkan kapasitas Otoritas Palestina sebagai institusi yang bisa dipercaya.
"Sebagian telah selesai, sebagian lainnya masih berjalan, hingga Otoritas Palestina dapat menjadi model yang mampu terus memimpin rakyat Palestina," ujarnya.
Trump bersama sejumlah pemimpin dunia dan lembaga internasional sebelumnya telah mendesak Abbas untuk mempercepat reformasi dalam struktur pemerintahan Palestina untuk memperkuat legitimasi politik di mata internasional.
Dalam rencana 20 poin yang digagas Trump, disebutkan bahwa pembangunan Gaza dan proses reformasi Otoritas Palestina menjadi syarat penting bagi terbukanya jalan menuju pengakuan kenegaraan Palestina secara penuh oleh komunitas global.
Apabila langkah ini berjalan, maka hal tersebut akan membuka peluang Palestina untuk menuju penentuan nasib sendiri secara resmi sesuai cita-cita rakyatnya yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]