WahanaNews.co | Pemerintah berencana memperbaiki pelayanan pengobatan pasien hemofilia. Salah satunya dengan terapi profilaksis dengan obat inovatif.
Hal itu tercantum sebagai rekomendasi dalam Pedoman Nasional pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Hemofilia.
Baca Juga:
BPJS Kesehatan Yogyakarta Jamin Pemudik dan Wisatawan Akses Layanan Kesehatan Aktif
Meski begitu, kepastian soal ketersediaan obat dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih dipertimbangkan pemerintah hingga saat ini. Terutama dari aspek ekonomi.
"Pengobatan untuk pasien hemofilia masih terkendala dalam aspek ketersediaan, akses pembiayaan yang terbatas, dan jumlah rumah sakit yang dapat memberikan terapi. Sementara, bila terapi dilakukan tidak optimal, pasien berisiko mengalami kerusakan sendi," kata anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia dr. Novie Amalia Chozie, dikutip Minggu (10/7).
Pakar kesehatan mendukung penerapan terapi profilaksis hemofilia. Karena terbukti lebih ampuh secara klinis dalam mencegah perdarahan dan komplikasinya.
Baca Juga:
Selama Libur Lebaran 2025, BPJS Kesehatan Pastikan Akses Layanan JKN Tetap Terbuka
Misalnya kerusakan sendi dan kecacatan fisik.
Novie menjelaskan, terapi profilaksis untuk pasien hemofilia dapat berupa faktor pembekuan darah, bypassing agent (BPA), dan obat non-faktor seperti emicizumab.
Terapi profilaksis dengan obat inovatif telah terbukti lebih ekonomis dari segi biaya. Studi lokal Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM (CEEBM FKUI-RSCM) terhadap kelompok pasien hemofilia dengan inhibitor menunjukkan, terapi profilaksis dengan obat non-faktor (emicizumab) berpotensi menekan pengeluaran BPJS Kesehatan untuk pengobatan hemofilia sebesar Rp51,9 miliar dalam lima tahun dibandingkan dengan terapi standar.