Di
Indonesia, pemerintah juga sudah menyatakan bahwa daging anjing, kucing,
kelelawar dan satwa liar lainnya bukan bahan pangan, karena bertentangan dengan
definisi pangan yang tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Penyiksaan
dan penganiayaan terhadap anjing dan satwa liar juga bertentangan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2014 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2008 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Baca Juga:
Rismon Diperiksa 97 Pertanyaan Terkait Ijazah Jokowi
Pasal
66A ayat (2) menyebutkan, "Setiap
orang yang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang
mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif."
Undang-undang
tersebut juga menyebutkan sanksi pidana, yakni pidana kurungan paling lama 6
bulan dan denda paling banyak Rp 5 juta bagi penganiaya hewan, dan pidana
kurungan paling lama 3 bulan dan denda paling banyak Rp 3 juta bagi saksi yang
tidak melaporkannya.
Di
Kamboja, ancaman hukumannya jauh lebih berat.
Baca Juga:
Istana: Hentikan Polemik Ijazah, Fokus Bangun Bangsa
Di Siem
Reap, provinsi pertama yang melarang penjualan dan konsumsi daging anjing,
pelanggar diancam dengan hukuman maksimal lima tahun penjara atau membayar
denda sebesar 7 hingga 50 juta riel atau sekitar Rp 177 juta.
Berbagai
peraturan tersebut menunjukkan bahwa norma internasional tentang kesejahteraan
hewan telah diadopsi oleh berbagai negara.
Menurut
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), hewan memiliki lima bentuk kebebasan
fundamental, yakni bebas dari kelaparan, kekurangan gizi, dan kehausan; bebas
dari ketakutan dan kesusahan; bebas dari ketidaknyamanan fisik dan suhu; bebas
dari rasa sakit, cedera, dan penyakit; dan bebas untuk mengekspresikan pola
perilaku normal.