WAHANANEWS.CO, Denpasar - Federasi Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru-SPSI Provinsi Bali secara tegas menolak penerapan kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) satu ruang perawatan yang akan mulai diberlakukan pada 1 Juli 2025.
Penolakan ini disampaikan usai konsolidasi jajaran pengurus daerah dan cabang di seluruh Bali yang menyoroti kesiapan pelaksanaan KRIS dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Baca Juga:
BPJS Kesehatan Ubah Kelas 1, 2, 3 Menjadi KRIS Mulai 30 Juni 2025
Menurut FSP Kerah Biru-SPSI, kebijakan penyatuan kelas rawat inap di rumah sakit masih prematur dan sarat masalah, mulai dari infrastruktur yang belum siap hingga potensi pelanggaran prinsip keadilan sosial.
“Kebijakan KRIS belum matang untuk diterapkan. Bila dipaksakan, hanya akan menimbulkan ketimpangan dan penurunan kualitas layanan bagi peserta JKN,” demikian pernyataan tertulis resmi serikat pekerja, yang diterima WahanaNews.co, Minggu (29/6/2025).
Salah satu sorotan utama adalah ketidaksiapan rumah sakit dalam memenuhi 12 kriteria fasilitas yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024.
Baca Juga:
Iuran BPJS Kesehatan Jadi Tarif Tunggal Setelah KRIS Diterapkan
Serikat menilai, masih banyak rumah sakit, baik negeri maupun swasta, yang belum mampu menyesuaikan infrastruktur layanan agar sesuai standar KRIS.
“Jika dipaksakan, pelaksanaan KRIS hanya akan bersifat seremonial. Padahal, rumah sakit perlu waktu untuk renovasi dan menyesuaikan sistem,” tegas FSP Kerah Biru-SPSI.
Tak hanya itu, penyamaan kelas layanan dianggap melanggar prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjunjung asas proporsionalitas. Peserta JKN yang membayar iuran lebih tinggi selama ini berhak atas layanan yang sesuai dengan kontribusinya.
“Keadilan bukan berarti sama rata. Mereka yang patuh membayar iuran juga punya hak atas layanan yang lebih baik,” lanjutnya.
Penerapan KRIS satu ruang juga dinilai menyimpang dari semangat gotong royong yang menjadi dasar Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Jika seluruh peserta mendapatkan layanan yang sama tanpa diferensiasi iuran, maka makna subsidi silang dalam sistem JKN menjadi kabur.
FSP Kerah Biru-SPSI juga menyoroti potensi meningkatnya antrean pasien akibat pembatasan maksimal empat tempat tidur per ruang.
Dengan infrastruktur yang belum mencukupi, kebijakan ini dikhawatirkan justru menambah beban fasilitas kesehatan, bukan memperbaikinya.
“Jangan sampai masyarakat malah semakin sulit mendapatkan perawatan hanya karena infrastruktur belum siap.”
Lebih lanjut, serikat pekerja menilai belum adanya regulasi teknis pelaksana dari Kementerian Kesehatan hingga akhir Juni 2025 sebagai bukti bahwa implementasi KRIS masih jauh dari siap.
Penolakan ini juga mendapat dukungan dari DPD KSPSI Provinsi Bali, melalui ketuanya Ketut Dana.
Ia menegaskan bahwa reformasi layanan kesehatan harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan inklusivitas.
Meski menolak KRIS satu ruang, FSP Kerah Biru-SPSI Bali tetap menyatakan dukungan terhadap penguatan sistem JKN yang lebih baik, berkelanjutan, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Mereka meminta agar proses reformasi dilakukan secara bertahap dan mengikutsertakan semua pemangku kepentingan, termasuk peserta JKN dan serikat pekerja sebagai bagian dari penerima manfaat utama.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]