WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ahli kesehatan Arifandi Sanjaya menyatakan bahwa pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) dapat menjadi strategi yang efektif untuk membantu perokok berhenti.
Ia mencontohkan Swedia yang berhasil menekan angka perokok hingga di bawah lima persen, menjadikannya negara pertama yang dinyatakan bebas asap rokok.
Baca Juga:
Kemnaker Terima 2.383 Aduan THR 2025, Mayoritas Masih Diproses
Keberhasilan Swedia dicapai melalui penerapan metode THR. "Berdasarkan yang saya amati, penggunaan THR bagi masyarakat yang teredukasi, akan mendorong orang lepas dari rokok," ujar Arifandi dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025).
Arifandi menilai bahwa Indonesia dapat meniru langkah tersebut dengan fokus pada penerapan THR secara sistematis.
“Menurut saya, memang harusnya ada satu divisi yang berhubungan dengan harm reduction ini di Indonesia,” ungkapnya.
Baca Juga:
Pemprov Jateng: Dana JHT Bantu Eks-Pekerja Sritex Lanjutkan Kehidupan
Meski berhenti merokok tetap menjadi langkah terbaik, kehadiran produk alternatif yang lebih rendah risiko menurutnya bisa menjadi jembatan bagi mereka yang kesulitan berhenti total.
Ia menjelaskan bahwa keberhasilan THR sangat bergantung pada pemanfaatan produk pengganti yang menghasilkan uap, karena mampu meniru sensasi yang dirasakan saat merokok. Kebiasaan tersebut dinilai penting dalam proses transisi.
Selain itu, varian rasa dalam produk alternatif turut membantu menjauhkan pengguna dari produk berbahan dasar tembakau.
Namun, Arifandi menegaskan bahwa perasa itu tidak dibuat untuk menarik minat non-perokok, melainkan membantu perokok berpindah ke produk yang lebih aman.
“Pengguna yang masih mendapat sensasi kebiasaan merokok ketika pengguna melakukan aktivitas menghisap dan mengeluarkan sesuatu itu lebih efektif. Selain itu, banyak sekali orang sebenarnya tidak suka dengan wangi rokok, ini menunjukkan perlunya opsi (alternatif),” kata Arifandi.
Arifandi juga mendorong pemerintah untuk berperan aktif dalam merancang regulasi terkait penerapan THR, seperti yang dilakukan Swedia.
Di samping itu, ia menekankan pentingnya edukasi dan riset untuk memperkuat pemahaman publik terhadap produk alternatif.
“Edukasi dan penelitian itu penting. Tanpa penelitian yang valid dari pemerintah, masyarakat masih akan bingung,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengingatkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia.
Menurutnya, upaya tersebut telah dilakukan melalui pemantauan konsumsi tembakau dan kampanye pencegahan, serta penguatan program Upaya Berhenti Merokok (UBM).
“Kita tahu bahwa Indonesia memasuki bonus demografi dan kita ingin menyiapkan SDM yang andal pada 2045. Kita ingin memiliki SDM yang tidak memiliki faktor risiko terhadap rokok,” ujar Siti dalam media briefing, Senin (2/6/2025).
[Redaktur: Ajat Sudrajat]