Undang-undang baru ini mengubah undang- undang Federal AS soal Makanan, Obat-obatan dan Kosmetik, yang disetujui pada 1938. Sebelum direvisi, FDA mewajibkan adanya ujicoba terhadap hewan seperti tikus, monyet atau anjing sebelum obat tertentu mendapatkan izin beredar.
Namun model pengujian seperti itu mahal dan tak efektif. "Pengujian terhadap hewan lebih banyak salahnya ketimbang benar," kata ahli rekayasa biologi Harvard University, Don Ingber.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Usulkan Two-State Solution untuk Akhiri Konflik Gaza dalam Pertemuan dengan AS
Pernyataan Ingber didukung Kepala Ilmuwan FDA, Namandje Bumpus. "Tikus atau curut tidak selalu sama seperti manusia dalam hal menghadapi proses medis dan kimiawi," katanya.
"Mengembangkan sistem in vitro yang berbasis kepada sel, jaringan, dan permodelan manusia, sebagai contoh, bisa lebih diprediksi," ujar Bumpus menambahkan.
Teknologi yang dimaksud adalah pemanfaatan sebuah chip sebesar USB berisikan saluran berongga berbahan polimer silikon. Saluran-saluran itu diisi sel hidup dan jaringan dari organ seperti otak, liver, paru-paru dan ginjal.
Baca Juga:
Gagal Menyentuh Pemilih, Harris Kalah Telak Meski Kampanye Penuh Serangan ke Trump
Kemudian, cairan dialirkan lewat rongga tersebut meniru aliran darah dalam tubuh. Normalnya di dalam tubuh manusia, obat-obatan yang berdampak merusak biasanya terasa di liver.
Nah, chip ini dapat bertindak seperti liver tersebut yakni mengirim peringatan jika zat-zat beracun yang dipompa ke dalamnya merusak sel yang ada.
Teknologi baru ini sebelumnya sudah diujicoba oleh Lorna Ewart, Kepala Ilmuwan di Emulate. Ia memanfaatkan chip tiruan liver untuk menguji sejumlah obat yang telah diujicoba kepada hewan namun ternyata berdampak negatif terhadap liver manusia.