WAHANANEWS.CO - Di usia 29 tahun, hidup Lilla Syifa berubah total setelah vonis diabetes datang tanpa ampun, membawanya hingga koma dan nyaris kehilangan fungsi ginjal.
Perempuan asal Surabaya, Jawa Timur, yang akrab disapa Cipa ini didiagnosis mengidap diabetes tipe 1,5 atau Latent Autoimmune Diabetes in Adults (LADA), kondisi yang kerap luput dikenali karena gejalanya menyerupai diabetes tipe 2.
Baca Juga:
RSCM Luncurkan Panel Genetik MODY untuk Perkuat Deteksi Dini Diabetes Usia Muda
Menurut dokter yang menanganinya, penyakit tersebut tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan dipicu pola hidup tidak sehat yang dijalani Cipa selama bertahun-tahun.
Cipa mengaku hampir setiap hari mengonsumsi makanan dan minuman manis, mulai dari jajanan viral, aneka dessert, hingga minuman seperti matcha yang menjadi pelarian dari stres pekerjaan.
Di sisi lain, ia jarang berolahraga dan memiliki pola tidur buruk akibat kebiasaan begadang hampir setiap malam.
Baca Juga:
Penting! Ini 7 Buah dengan Kandungan Gula Tertinggi
"Kalau ditanya gaya hidup, memang aku ngaco sih," ujar Cipa, Senin (22/12/2025), mengutip Detik.
Kondisinya terdeteksi saat pemeriksaan medis menunjukkan kadar gula darah mencapai 356 mg/dl yang masuk kategori hiperglikemia parah.
Hasil pemeriksaan HbA1c-nya pun mencapai 11,5 persen, jauh di atas batas normal di bawah 5,7 persen sebagaimana dirujuk dari laman Kementerian Kesehatan.
Sebelum diagnosis ditegakkan, tubuh Cipa sebenarnya sudah memberi peringatan sejak Mei atau Juni 2025, namun gejala yang muncul kerap dianggap sepele.
Salah satu gejala yang dialaminya adalah kram kaki yang muncul tiba-tiba dan awalnya ia anggap akibat kelelahan atau penggunaan sepatu hak tinggi.
"Sering kram di betis atau jari kaki yang tiba-tiba melengkung. Aku pikir karena pakai heels terus," kata Cipa.
Selain itu, Cipa mengalami rasa haus berlebihan atau polidipsia meski sudah minum air dalam jumlah banyak.
Bibirnya bahkan tampak sangat kering hingga disadari oleh orang-orang di sekitarnya.
"Pernah lagi naik ojol, macet, air minum habis. Panik banget cari air karena hausnya parah, kayak di padang gurun," ujarnya.
Gejala lain yang kemudian disadarinya adalah sering buang air kecil atau poliuria akibat ginjal bekerja ekstra membuang glukosa melalui urine.
"Kayak 10 menit pipis lagi. Kepala juga pusing, lemas, lunglai," katanya.
Cipa menyebut kebiasaan mengonsumsi makanan manis sebagai bentuk pelarian dari tekanan pekerjaan yang ia alami setiap hari.
Dalam sehari, ia mengaku bisa mengonsumsi makanan manis hingga tiga kali.
"Dessert itu bisa dibilang hampir tiap hari. Puncaknya di 2024 sampai 2025," tuturnya.
Kebiasaan begadang semakin memperburuk kondisinya karena ia kerap baru tidur pukul 2 atau 3 dini hari usai pulang kerja.
Olahraga hampir tidak pernah menjadi rutinitasnya, kecuali kardio ringan seminggu sekali tanpa latihan beban.
"Gula yang aku makan nggak punya tempat 'persembunyian', karena aku nggak punya massa otot," ucapnya.
Kondisi Cipa sempat memburuk drastis ketika ia kehilangan kesadaran pada 17 Agustus dan koma selama sekitar 12 hari.
Ia dirawat intensif di ICU, dipasangi ventilator, serta bergantung pada berbagai alat medis untuk bertahan hidup.
"Infus sampai di leher, makan lewat hidung. Semua pakai alat," kenangnya.
Saat itu, dokter bahkan sempat menyarankan cuci darah karena fungsi ginjalnya hanya tersisa sekitar 10 persen dan pankreas ikut terdampak.
Beruntung, fungsi ginjal Cipa perlahan membaik sehingga tindakan hemodialisis tidak jadi dilakukan.
Dokter juga mengingatkan adanya risiko komplikasi serius, mulai dari gangguan motorik hingga kehilangan ingatan.
"Ini bukan sekadar nurunin gula. Gulanya sudah merusak organ-organ lain," kata Cipa.
Pengalaman tersebut menjadi titik balik bagi Cipa untuk menjalani hidup lebih sadar akan kesehatan sekaligus menjadi pengingat bahwa diabetes bisa menyerang di usia muda dan kerap berawal dari kebiasaan yang dianggap sepele.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]