WahanaNews.co | AKBP Bambang Kayun Bagus Panji Sugiharto didakwa tim jaksa komisi pemberantasan korupsi (KPK) menerima uang dan satu unit mobil Toyota Fortuner dengan total sejumlah Rp57.126.300.000 (Rp57,1 miliar) dari Emylia Said dan Herwansyah- kini berstatus DPO Bareskrim Polri.
Dilansir dari CNNIndonesia, Jaksa menuturkan kronologi penerimaan suap tersebut. Bambang selaku Kepala Sub Bagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum Biro Bankum Divisi Hukum Polri Tahun 2013-2018 mempunyai tetangga di rumahnya di Pontianak bernama Boy Prayana Sidhi.
Baca Juga:
Korupsi Proyek Perkeretaapian, Anggota Pokja di Purwokerto Terima Sejumlah Uang
Sekitar pertengahan tahun 2016, Boy menghubungi Bambang lewat sambungan telepon dan menyampaikan rekannya yang bernama Farhan mempunyai kakak bernama Emylia Said dan Herwansyah.
Kakak Farhan tersebut tersandung masalah hukum karena dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Dewi Ariati berdasarkan Laporan Polisi nomor: LP/120/II/2016/Bareskrim tanggal 3 Februari 2016 dengan dugaan tindak pidana pemalsuan surat.
Adapun maksud komunikasi tersebut adalah ingin berkonsultasi dengan Bambang untuk membicarakan kasus tersebut. Bambang pun setuju.
Baca Juga:
Gubernur Kalsel Tak Lagi Jadi Tersangka Suap dan Gratifikasi, Ini Alasan Hakim
Boy dan Farhan lantas berangkat ke Jakarta menemui Bambang di Hotel Ibis Sunter Jakarta Utara. Dalam pertemuan itu, Farhan menjelaskan laporan polisi dimaksud dan Bambang menyampaikan bisa membantu mengurus permasalahan. Farhan melaporkan hasil pertemuan ini ke kakaknya.
Masih di bulan Juni 2016, Boy, Farhan, Herwansyah dan Emylia menemui Bambang di Hotel Ibis Sunter. Boy memperkenalkan mereka kepada Bambang.
"Setelah perkenalan tersebut, Emylia Said dan Herwansyah menceritakan permasalahannya dengan Dewi Ariati dan terdakwa [Bambang Kayun] menyampaikan dapat membantu dengan melobi penyidik Bareskrim Mabes Polri yang menangani kasus tersebut," ungkap jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (25/5).
Sebagai langkah awal, Bambang mengarahkan Emylia dan Herwansyah mengajukan surat perlindungan hukum kepada Divisi Hukum Mabes Polri. Surat itu dibuat oleh Bambang.
"Kemudian terdakwa juga menyampaikan untuk pengurusan surat perlindungan hukum tersebut, terdakwa meminta sejumlah uang yaitu sebesar Rp400 juta untuk pengurusan dua surat," tutur jaksa.
Emylia lantas memerintahkan Farhan untuk menemui Herwansyah dan mengambil uang tunai di Kantor PT Aria Citra Mulia yang beralamat di Kompleks Harmoni Plaza Blok B No.48-50, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
Herwansyah selanjutnya menyerahkan uang Rp400 juta yang dibungkus amplop tersebut kepada Farhan untuk kemudian diteruskan ke Bambang di Kantor Divisi Hukum Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Uang itu disimpan di meja kerja Bambang.
Beberapa hari kemudian, Farhan kembali menemui Bambang di Mabes Polri. Bambang memperlihatkan surat perlindungan hukum masing-masing atas nama Emylia dan Herwansyah kepada Farhan, namun melarang untuk difoto dan dibawa pulang.
Satu minggu kemudian, Penyidik Unit II pada Subdirektorat II Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Mabes Polri mengirimkan surat panggilan pertama yang dilanjutkan dengan surat panggilan kedua kepada Emylia dan Herwansyah.
Namun, kedua panggilan tersebut diabaikan dengan alasan sedang sakit. Emylia dan Herwansyah bersama dengan Farhan justru menemui Bambang di Spring Hill Golf Residence, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Mereka menyampaikan tidak bersedia menghadiri pemeriksaan di Mabes Polri dan menginginkan pemeriksaan dilakukan di Kantor PT Aria Citra Mulia di Harmoni.
Atas permintaan itu, Bambang menyatakan akan membantu dan meminta disiapkan uang Rp700 juta yang akan diberikan kepada penyidik yang menangani kasus. Emylia dan Herwansyah setuju.
Keesokan harinya, masih di pertengahan tahun 2016, Herwansyah menyerahkan uang sebesar Rp700 juta yang terbungkus dalam amplop kepada Farhan di PT Aria Citra Mulia untuk diserahkan kepada Bambang. Selanjutnya Farhan menemui dan menyerahkan uang tersebut kepada Bambang di Divisi Hukum Mabes Polri.
"Lalu terdakwa menyampaikan kalau uang tersebut akan dibagikan kepada seluruh penyidik yang menangani kasus Emylia Said dan Herwansyah. Kemudian setelah itu terdakwa memanggil beberapa orang penyidik dan membagikan uang dalam kantong plastik tersebut," ungkap jaksa.
Beberapa hari kemudian, penyidik Bareskrim Polri Agus Prasetyono, Budi Setiawan dan Suradi melakukan pemeriksaan terhadap Emylia dan Herwansyah di Kantor PT Aria Citra Mulia.
"Sebelum pemeriksaan dilakukan, terdakwa mengarahkan Emylia Said dan Herwansyah melalui Farhan untuk menyiapkan empat kotak yang berisi kue dan uang dalam amplop masing-masing sebesar Rp40 juta yang totalnya sebesar Rp160 juta," tutur jaksa.
"Lalu diserahkan oleh Farhan kepada penyidik yang datang melakukan pemeriksaan terhadap Emylia Said dan Herwansyah," sambungnya.
Pada 26 Oktober 2016, Bambang mengikuti rapat gelar perkara oleh penyidik dan menyimpulkan telah cukup alat bukti untuk menaikkan status Emylia dan Herwansyah dari saksi menjadi tersangka.
Dalam gelar perkara tersebut, Bambang menyampaikan terhadap objek laporan awal yaitu Akta Keluarga yang menjadi surat keputusan sirkuler para pemegang saham PT Aria Cipta Mulia cacat hukum atau Error in Obyekto dan pemeriksaan laboratorium forensik yang dilakukan atas dokumen notaris serta pemeriksaan notaris tidak sah dikarenakan tidak ada izin dari Majelis Kehormatan Notaris.
Setelah mengetahui status hukum Emylia dan Herwansyah dinaikkan menjadi tersangka, Bambang menindaklanjuti surat permohonan perlindungan hukum kepada atasannya di Divisi Hukum Mabes Polri.
Pada 3 November 2016 dilakukan rapat klarifikasi penerapan hukum atas penanganan laporan polisi nomor: LP/120/II/2016/BARESKRIM POLRI yang dihadiri antara lain oleh Propam Polri, Puslabfor Polri, Irwasum Polri dan Birowasidik, Penyidik Subdit II Bareskrim Polri serta juga dihadiri oleh Bambang yang mewakili Divisi Hukum Mabes Polri.
Dalam laporan hasil rapat tersebut, menyebutkan terdapat tindakan penyidik yang tidak profesional. Yakni tidak ada tindakan hukum penyelidikan terhadap Laporan Polisi nomor: LP/120/II/2016/Bareskrim tanggal 3 Februari 2016.
Kemudian objek yang menjadi pemeriksaan oleh penyidik berupa minuta akta sirkuler pemegang saham PT Aria Citra Mulia dan tidak melakukan pemeriksaan mendalam terhadap kartu keluarga yang juga menjadi dasar Dewi Irawati membuat laporan polisi dan mengakibatkan cacat hukum penyidikan (Error of Investigato).
Pemeriksaan notaris dan pengambilan minuta akta sirkuler PT Aria Citra Mulia untuk dilakukan pemeriksaan forensik oleh penyidik, dilakukan tanpa izin dari Majelis Kehormatan Notaris sehingga tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
Pada November 2016, Emylia dan Herwansyah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri. Keduanya dipanggil sebagai tersangka berdasarkan surat panggilan tanggal 4 November 2016.
Kemudian atas perintah Emylia, Farhan menemui Bambang untuk menyampaikan perihal status tersangka tersebut.
"Lalu terdakwa mengarahkan agar Emylia Said dan Herwansyah mengajukan kembali surat perlindungan hukum kepada Divisi Hukum Mabes Polri dan meminta Emylia Said dan Herwansyah menyiapkan uang sebesar Rp400 juta untuk pengurusan surat tersebut," kata jaksa.
Lagi-lagi keinginan Bambang tersebut dipenuhi.
Bambang juga mengarahkan Emylia dan Herwansyah untuk mengajukan praperadilan. Pada 8 November 2016, Bambang meminta Yayanti selaku teman dekatnya untuk menghubungi Masnen Gustian yang bekerja sebagai advokat agar menemuinya di Hotel Ibis Sunter. Pertemuan itu turut dihadiri Emylia dan Herwansyah.
Singkat cerita, Masnen Gustian menjadi kuasa hukum Emylia dan Herwansyah untuk praperadilan tersebut. Praperadilan didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 17 November 2016 dengan register perkara nomor: 19/Pid.Pra/2016/PN.Jkt.Pst.
Pada 13 Desember 2016, PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan praperadilan dengan menyatakan surat panggilan tersangka Emylia dan Herwansyah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Setelah putusan praperadilan tersebut, terdakwa menyampaikan kepada Emylia Said dan Herwansyah melalui Farhan agar terdakwa dibelikan Mobil Toyota Fortuner dan permintaan tersebut disangggupi," ucap jaksa.
Herwansyah membelikan satu unit mobil Toyota Fortuner Attitude Black Mica di Auto2000 Juanda seharga Rp476.300.000 melalui Gita Paramita Telaumbanua Mayors selaku Counter Sales Auto2000 Juanda.
Pada 31 Desember 2016, Herwansyah memerintahkan Mukaffi Jemi Naratama selaku staf di PT Aria Citra Mulia untuk datang ke Auto2000 Juanda guna melakukan pemesanan satu unit Mobil Toyota Fortuner yang nantinya akan diatasnamakan Bambang.
Mukaffi saat itu sudah membawa kelengkapan dokumen berupa copy KTP atas nama Herwansyah dan Bambang serta melakukan pembayaran booking fee sebesar Rp20 juta. Kekurangan pembayaran mobil sebesar sebesar Rp456.300.000 dibayarkan oleh Herwansyah pada 5 Januari 2017.
Mobil itu lantas dibawa Mukaffi dan Farhan untuk diserahkan kepada Bambang di sebuah parkiran di Sunter, Jakarta Utara.
Pada 21 April 2021, Emylia dan Herwansyah kembali ditetapkan sebagai tersangka. Kedua orang ini pun kembali meminta bantuan Bambang.
Bambang menyarankan agar Emylia dan Herwansyah memakai strategi yang sama lewat praperadilan untuk menggugurkan status tersangka. Kali ini Bambang merekomendasikan nama Neshawaty Arsjad untuk menjadi kuasa hukum.
Praperadilan ini didaftarkan ke PN Jakarta Selatan dengan register perkara nomor: 61/Pid.Pra/2021/PN.Jkt.Sel tanggal 9 Juni 2021. Hanya saja, kali ini PN Jaksel menolak permohonan tersebut.
Selain menerima uang dari Emylia dan Herwansyah sebesar Rp1,66 miliar dan satu unit mobil seharga RpRp476,3 juta, Bambang juga menerima uang dari PT Aria Citra Mulia, PT Eminence Maritime Indonesia dan PT Maju Maritim Indonesia, sehingga total suap yang diterima Bambang mencapai Rp57,1 M.
Perusahaan-perusahaan tersebut terafiliasi dengan Emylia dan Herwansyah.
Atas perbuatannya, Bambang didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
[Redaktur: Alpredo]